Selasa, 25 Januari 2011

Laporan Buku Tugas PIS


LAPORAN PERBANDINGAN BUKU
Nama Buku               : Menelisik Pendidikan IPS Dalam Perspektif   
  Kontekstual –  Emperis
Penulis                       : Prof. Dr. Wayan Lasmawan
Jumlah Halaman      : 357
Jumlah BAB             : 15
Penerbit                     : Mediakom Indonesia Press Bali
Cetakan                     : Pertama, Desember 2010

Buku Pembanding    : Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman
Penulis                       : Prof. Dr. Taufik Abdullah
Jumlah Halaman      : 317
Jumlah BAB             : 9
Penerbit                     : PT Raja Grafindo Persada Jakarta
Cetakan                     : Pertama, 2006

Buku Pembanding    : Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS
Penulis                       : Prof. Muhamad Numan Somantri, M.Sc.
Jumlah Halaman      : 300
Jumlah BAB             : 10
Penerbit                     : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan                     : 2001

Penulis Laporan       : I Komang Nopa Dedy Putra
NIM                           : 0714041071








Isi Buku Prof. Dr. Wayan lasmawan

BAB 1
KEBIJAKAN KURIKULUM PENDIDIKAN IPS
1.      Filsafat Pendidikan IPS
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari interaksi antar sesama manusia, baik secara individu maupun kelompok dan interaksi dirinya dengan lingkungannya. Corak hubungan antara manusia dengan lingkungannya mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan peradaban manusia. Perubahan tersebut akan menimbulkan persoalan soosial pada diri manusia. Maka untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang sulit tersebut para generasi muda harus dipersiapkan dengan baik. Upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pembekalan pengetahuan ataupun berbagai macam keterampilan. Selain itu para generasi muda ditingkat sekolah sangat perlu dibekali pengetahuan sosial, nilai-nilai sosial, dan keterampilan sosial agar mereka dapat berjuang untuk hidup sekaligus mengembangkan potensi dirinya. Oleh karena itu pendidikan IPS sebagai salah satu komponen progmatik didalam kurikulum sekolah sesungguhnya banyak diharapkan untuk bisa mendukung tercapainya tujuan ideal dari pendidikan yaitu menciptakan peserta didik atau generasi muda yang berkualitas. Maka mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran atau salah satu bidang kajian yang mendukung konsep dasar berbagai ilmu-ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan dan pertimbangan psikologis dan kebermaknaanya bagi siswa dala kehidupannya mulai dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Pendidikan IPS juga dapat dikatakan sebagai upaya untuk membekali dan mempersiapkan peserta didk agar dapat melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi, khususnya dalam bidang ilmu sosial di perguruan tinggi.
Filsafat pendidikan IPS adalah suatu pengetahuan yang mengkaji berbagai permasalahan-permasalahan atau fenomena-fenomena sosial.Filsafat adalah induk dari semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan yang sangat besar dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan. Di dalam filsafat terdapat pertanyaan dan sanggahan dan harus dipertahankan secara argumentatif yaitu dengan argumen-argumen yang objektif. Dari itulah filsafat melahirkan cabang ilmu lain baik yang menyangkut alam itu sendiri secara fisik maupun manusia secara sosial.
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang dibatasi pengalaman, tetapi masalah-masalah yang lebih luas, lebih kompleks yang tidak dibatasi pengalaman ataupun fakta-fakta pendidikan, dan tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh social pendidikan. Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia member sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan itu dapat hidup dan berkembang. Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertanggungjawabkan ilmunya.  Kajian filsafat yang lebih spesifik membahas tentang masalah alam ataupun social secara epistemologis merupakan filsafat pengetahuan, yaitu secara spesifik mengjkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai cirri-ciri tertentu. Filsafat dilihat dari fungsi kajiannya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yakni filsafat teoretis(mengembangkan teori) dan filsafat praktis (terapan).
Filsafat pendidikan yang mengembangkan bidang studi tertentu tujuan pendidikan dikenal dengan syntactic discipline. Seperti pendidikan IPS, pendidikan bahasa, pendidikan IPA, dimana pendidikan merupakan syntactic discipline (sintesa) antara ilmu pendidikan dengan ilmu yang lain. Jadi, pendidikan IPS ataupun pendidikan bidang studi lainnya yang berada pada rumpun Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan harus mengandung unsure pendidikan dan unsur bidang studi tertentu.  Perbedaan ilmu meliputi ilmu teoritis-rasional (misalnya dogmatic hukum), cara berfikir yang dominan adalah deduktif dengan mempergunakan silogisme. Cara berfikir deduktif-induktif  atau induktif- deduktif banyak dipergunakan di dalam ilmu-ilmu teoretis-empiris, seperti sosiologi. Ilmu-ilmu yang empiris praktis seperti pekerjaan social atau kesejahteraan social dan pendidikan IPS lebih banyak menggunakan cara berfikir induktif yaitu berfikir reflektif-inquiry dari praktik-praktik pengalamannya dalam mengejar atau layanan social lainnya. Berikut ini sebagai gambaran tentang pendidikan IPS dalam kawasan akademik dan praktik dijelaskan sebagai berikut :
a.      Pendidikan IPS sebagai kajian akademik
Ilmu pengetahuan social (IPS) sebagai kajian akademik merupakan perkembangan ilmu pengetahun yang berhubungan dengan bidang praktik pendidikan. IPS merupakan sintesa kajian pendidikan, kajian sosial, dan humaniora untuk program pendidikan untuk kurikulum tingkat sekolah.
Gagasan tentang IPS sebagai kajian akademik (mahasiswa) pertama kali dilontarkan oleh Nu’man Sumantri (Pakar IPS Universitas pendidikan Indonesia yang pertama di Indonesia). Soemantri memberikan definisi IPS sebagai pendidikan disiplin ilmu dan pendidikan disiplin ilmu pengetahuan social sebagai berikut: 1. Pendidikan disiplin ilmu adalah suatu batang tubuh disiplin disiplin yang menyeleksi konsep, generalisasi, dan teori dari struktur disiplin ilmu tertentu dan disiplin ilmu pendidikan yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmuan-psikologis untuk tujuan pendidikan, 2. Pendidikan disiplin ilmu pengetahuan social adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu social dan humanior yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah-psikologis untukmewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UU Sisdiknas.
b.      Pendidikan IPS sebagai Program Pendidikan
Pendidikan ilmu pengetahuan social sebagai program pendidikan adalah bentuk penyederhanaan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Dalam pemberian materi di tingkat sekolah Pengetahuan Sosial bisa diberikan dalam bentuk program mata pelajaran tersendiri atau rumpun biidang kajian ilmu-ilmu sosial.
1.      Standar Isi Pendidikan IPS
Secara konseptual ilmu pengetahuan social merupakan mata pelajaran yang bersumber dari kehidupan social masyarakat yang diseleksi dengan menggunakan konsep-konsep ilmu social yang digunakan untuk kepentingan pemblajaran.kurikulum IPS yang dikembangkan hendaknya memiliki landasan filosofis yang jelas. Landasan filosofis yang digunakan hendaknya melihat kondisi nyata yang terjadi di masyarakat. Hubungan antara individu ataupun kelompok dalam globalisasi ini akan melahirkan suatu pola hubungan yang kompetitif. System nilai yang dipegang oleh masing-masing individu ataupun kelompok akan saling berpengaruh dalam pola hubungan tersebut.
Masyarakat yang akan dibentuk oleh IPS adalah masyarakat  yang mendunia yang tetap berpijak pada kearifan local. Dalam kearifan local tumbuh adanya kesadaran keruangan dan kesadaran waktu.  Sesuai dengan UU No.20 th 2003 tentang system pendidikan nasional dan peraturan pemerintah yang mengatur tingkat satuan pendidikan, batasan ruang lingkup materi IPS dijadikan harus dikaji siswa perlu diperhatikan dari pokok kajian yang ada. Atas dasar pemikiran diatas maka dalam rangka melaksanakan pengakajian kurikulum maka pelajaran IPS jenjang pendidikan dasar dan menengah, naskah akademik ini disusun untuk melakukan pengembangan model kurikulum kedepan yang menjadi tanggung jawab pusat kurikulum.
            Secara yuridis formal, dasar hukum atau landasan yuridis dari kebijakan implementasi kurikulum IPS terdiri atas (1) Undang-undang No.20 th.2003 tentang system pendidikan nasional (2) peraturan pemerintah No. 19 th 2005 tentang standar nasional pendidikan (3) peraturan menteri pendidikan nasional No 22 th 2006 tentang standar isi. (4) peraturan mentri pendidikan nasional No. 23 th 2006 tentang standar konpetensi lulusan. (5) peraturan menteri pendidikan nasionla No.24 th. 2006 tentang pelaksanaan peraturan menteri pendidikan nasional No. 22 th. 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah serta peraturan menteri pendidikan nasional No 23 th 2006 tentang standar kompetensi lulusan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
            Tujuan penyusunan naskah akademik ini diantaranya bertujuan untuk memberikan arahan dan masukan bagi para pengembang kurikulum khususnya mata pelajaran IPS memberikan wawasan, pengetahuan, dan pemahaman bagi pihak terkait sehingga mereka dapat memberikan dukungan terhadap pengembangan kurikulum masa depan, memberikan acuan dasar dalam pelaksanaan pembelajaran IPS sekolah dasar dan menengah.
2.      Pelaksanaan standar isi pendidikan IPS
            Pelaksanaan kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan sebutan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) terdapat beberapa yang patut dicermati yaitu:
a.       Keragaman pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah khususnya keragaman dalam pelaksanaan di setiap jenjang. KTSP secara keseluruhan pada semua jenjang beralasan agar kurikulum yang dilaksanakan di sekolah tersebut seragam dan merasa siapa untuk melaksanakan. Pelaksanaan KTSP dilakukan secara berjenjang dan diperbolehkan bagi sekolah yang siap untuk melaksanakan di seluruh jenjang.
b.      Tugas guru mengajar. Guru yang mengajar IPS baik di SD, SMP maupun SMA mengikuti pengorganisasi materi kurikulum. Pengorganisasian kurikulum IPS di SD lebih bersifat terpadu atau integrasi. Di SMP diorganisasikan menjadi IPS terpadu  sehingga berimplikasi pada tugas guru yang mengajar. Sedangak di SMA dalam pengimplementasiannya penugasan guru tidak terjadi perubahan sebagai mana halnya SMP karena telah terpisah-pisah dan disiplin.
c.       Pemahaman standar isi. Secara teoritis sebagaimana tercantum dalam permendiknas no.22 standar isi mencangkup lingkup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. KTSP yang digambarkan di sekolah memiliki ciri khas sekolah atau daerah tersebut. Sebab buku-buku teks yang digunakan lebih banyak memaparkan materi yang masih bersifat umum yang bias berlaku pada semua sekolah atau daerah.

      Permasalahan-permasalahan pelaksanaan standar isi menimbulkan berbagai permasalahan di lapangan yaitu :
·         Sosialisasi KTSP belum merata. Berdasarkan temuan di lapangan khususnya ketika dilakukan berbagai pelatihan yang berkenaan dengan pelaksanaan KTSP baik yang dilaksanakan oleh dinas pendidikan maupun musyawarah guru mata pelajaran (MGMP)di berbagai daerah, tidak jarang ditemukan guru yang belum paham tentang KTSP. Dengan demikian pedoman petunjuk teknis KTSP yang belum disosialisasikan menambah kaburnnya implementasi kurikulum. Dan pada akhirnya tidak seluruh sekolah menerapkan KTSP.
·         Guru yang berorientasi pada buk teks, tidak mengacu pada dokumen kurikulum yang dikeluarkan akan BSNP melalui dinas pendidikan baik tingkat pusat dan daerah telah menyebar ke berbagai sekolah sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum.berbagai media cara sarana untuk menyebarkan kurikulu, itu telah ditempuh oleh BSNP seperti workshop,pelatihan,seminar, dan lain sebagainya.
d.      Penyusunan program silabus dan RPP. Guru dalam menyusun silabus dan RPP belum banyak memperlihatkan kekhasannya pada satuan pendidikannya. Tuntutan KTSP yang harus memperlihatkan situasi dan kondisi sekolah atau daerah semestinya menjadi bahan dalam materi pelajaran.selain itu guru juga harus bias membedakan indicator dan tujuan sehingga tidak rancu dalam merumuskan silabus dan RPP. Pemahaman terhadap perbedaan antara guru dan pengawas dilapangan. Hal ini dapat menyulitkan guru dalam merumuskan silabus dan indicator, karena kedudukan pengawas sebagai penilai kinerja guru.
e.       Struktur program, struktur program pada mata pelajaran IPS masih menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara alokasi waktu yang disediakan dengan keluasan materi yang harus disampaiakan kepada siswa khususnya pada mata pelajaran geografi SMA kelas X, sejarah untuk kelas X dan program IPA
e.  Strategi pembelajaran. Ada suatu kecendrungan pemahaman yang salah bahwa IPS adalah pelajaran yang cenderungn hapalan. Pemahaman seperti ini berakibat pad ape,belajaran yang lebih menekankan pada aktivitas guru .misalnya lebih banyak menggunakan metode ceramah bahkan menyuruh siswa untuk mencatat.
f.  Penilaian. Penilaian merupakan salah satu cara untuk mengukur keberhasilan pencapain indicator dana tujuan yang telah ditetapkan baik dalam silabus maupun RPP. Pada umumnya guru melaksanakan penilaian lebih banyak menggunakan alat-alat penilaian yang masih konvensional yaitu test tulis.
g.      Sarana pemblajaran. Sarana pemblajaran sngat pentinng untuk mencapai tujuan pemblajaran IPS. Pada umumnya sarana mendukunga pemblajaran IPS masih sangat minim.
h.      Kualifikasi guru. Adanya anggapan bahwa pelajaran IPS adalah pelajaran yang mudah karena hapalan saja sehingga siapa saja dapat mudah menjadi guru IPS. Dan anggapan tersebut berdampak pada kualifikasi guru IPS. Banyak terlihat guru IPS tidak memiliki latar belakang pendidikan IPS, padahal untuk menjadi guru IPS haruslah memiliki latar belakang pendidikan IPS.

3.      Strategi Empiris Pelaksanaan SI IPS
Beradasrkan uraian masalah terhadap pelaksanaan standar isi IPS ada upaya-upaya yang perlu dilakukan. Dan upaya tersebut adalah;
a.         Sosialisasi kurikulum. Hendaknya tidak hanya mengandalkan pada instansi yang bersifat structural seperi BSNP.
b.        Dokumen. Dokumen yang memuat standar kompetensi dan kompetensi dasr perlu ditata kembali. Penataan tersebut harus memperhatikan landasan-landasan kurikulum yang akan dipakai.
c.         Penyusunan program silabus dan rpp. Untuk mengatasi guru dalam merumuskan silabus dan RPP guru tersebut hendaknya perlu melakukan pelatihan-pelatihan mengenai penyusunan silabus dan RPP.
d.       Struktur program. Struktur program mata pelajaran hendaknya proporsional antaralingkup materi dengan alokasi waktu yang disediakan.
e.        Strategi pemblajaran. Strategi pemblajaran yang hendak dilakukan guru dalam mata pelajaran IPS hendaknya lebih menekankan pada aktifitas siswa.
f.        Penilaian. Penilaian berfungsi untuk mengukur ketercapainya kompetensi , indikato, dan tujuan yang ditetapkan dalam silabus dan RPP.
g.        Sarana pemblajaran. Sarana pemblajaran sangat pentinga dalam menunjang ketercapaian tujuan pemblajaran.
h.        Kualifikasi guru . guru yang kurang memilkikualifikasi dalam mata pelajaran IPS dapat dilakukan melalui pengangkatan guru yang sesuai dengan bidangnnya

4.      Landasan Filosofis pengembangan kurikulum
            Secara teoritis ada beberapa pandangan filosofi kurikulum yaitu esensialisme, perenialisme, progresivisme dan rekontruksionisme.
          Esensialisme adalah aliran yang menekankan bahwa kurikulum harus menekannkan pasa penguasa ilmu. Dan aliran ini berpandangan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah pendidikan keilmuan. Kurikulum yang dikembangkan dalam aliran esensialisme adalah kurikulum disiplin ilmu. Tujuan utamanya adalah implementasi kurikulum aliran ini adalah intelektualisme.proses belajar mengajar yang dikembangkan adalah siswa harus memiliki kemampuan terhadap penguasa disiplin ilmu.
          Perenialisme memandang bahwa pendidikan adalah kepemilikan atas prinsif-prinsif tentang kenyataan-kenyataan, kebenaran,dan nilai yang abadi.  Dalam pandangan ini kurikulum yang ada akan menjadi sangat idiologis karena dengan pandangan perenialisme menjadikan peserta didik sebagai warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diinginkan oleh Negara.
          Progresivisme memandang bahwa sekolah memiliki tujuan yaitu meningkatkan kecerdasan praktis dan membuat siswa lebih efektif dalam memecahkan memecahkan masalah yang disajikan.  Filsafat progresivisme adalah bagaimana mata pelajaran IPS mampu membekali siswa agar dapat memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-harinya.
          Rekontrksionisme berpendapat bahwa sekolah harus diarahkan  kepada pencapaian tatana demokrasi yang mendunia. Aliran filsafat ini menekankan agar siswa mampu menemukan pengetahuan dalam pembelajaran.
5.      Perkembangan Psikologi Siswa
          Teori yang digunakan dalam melihat perkembangan psikologi siswa diantaranya teori piaget dan Bruner. Perkembangan psikologi individu menuru piaget berkembang secara kualitatif melalui empat tahapan yaitu:
1.      Sensorimotor period (0,0 – 2,0tahun)
Ditandai adanya penggunanaan sensorimotorik(dalam pengamatan dan pengindraan)
2.      Preoperasional period ( 2,0 – 7,0)
Ditandai dengan adanya cara berfikir yang bersifat transduktif (menarik konklusi tentang suatu yang khusus atas dasar hal khusus)
3.      Concrete operasional period ( 7,0-11/12 tahun)
Dperiode ini mulai mengembangkan kemampuaan berfikir beraneka.sudah bias membedakan mana benda atau kondisi yang tidak berubah dan mana yang berubah.
4.      Formal operational period (11/12 – 14/15 tahun)
Periode ini ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasionalakan kaidh-kaidah logika formal yang tidak terikat dengan objek-objek yang bersifat kongkret.
Menurut Piaget proses belajar terjadi apabila proses pengelolaan data yang aktif dipihak yang belajar. Pengolahan data yang aktif itu merupakan aktivitas lanjutan dari kegiatab mencari informasi dan dilanjutkan dengan penemuan-penemuan (discovery). Skema yang dimiliki seseorang harus selalu berkembang dan dipengaruhi kematangan bio-psikologis, pengalaman belajaar yang pernah ditempuhnya. Proses perubahan skema menurut piaget terjadi melalui proses asimilasi adan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyesuain informasi yang akan diterima sehingga menjadi suatu yang dikenal oleh siswa.  Dengan adanya akomodasi informasi yang baru diterima tadi menjadi bagian yang utuh dari skema yang alam menjadi skema yang baru. Sedangkan menurut teori Bruner ada tiga tahapan berfikir yang dialami yaitu enactive, iconic dan simbolik.  Pada tahap enactiv apa yang dipelajari , dikenal maupun diketahui hanya sebatas daya ingatan.  Pada tahap iconic anak sudah dapat mengembangakan berfikir yang lebih jauh.  Sedangkan pada tingkat simbolik siswa sudah bias m]dan mampu berfikir abstrak.







BAB 2
SEJARAH DAN KAWASAN PENDIDIKAN IPS
  1. Histori perkembangan pendidikan IPS
            Secara universal, pertama kali social studies dimasukkan secara resmi kedalam kurikulum sekolah adalah Di Rugby (inggris) pada tahun 1827. Atau sekitar abad setelah revolusi industry yang ditandai adanya perubahan penggunaaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Program pendidikan antar disiplin di tingkat sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam rangka membentul prilakku social siswa kearah yang diharapkan. Latar belakang perlunyya dimasukkan social studies dalam kurikulum sekolah dan dibeberapa Negara –negara lain memilikii sejarah dan alasan yang berbeda-beda.
            Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies kedalam kurikulum sekolah dan Negara lain bagian wiscosin pada tahun 1892, setelah dilakukan suatu penelitian pada awal abad 20, sebuah komisi nasional dari The National Education Association memberikan suatu rekomendasi tentang perlunya social studies. Dimasukkan dalam kurikulum sekolah dan Negara lain seperti sekolah di Amerika Serikat. Social studies yang dalam istilah Indonesia disebut pendidikan IPS dalam perjuanganya tentang eksistensi terdapat dalam “The National Herbart Social Paper of 1896-1897” yang menegaskan bahwa upaya membatasi ilmu-ilmu social untuk kepentingan pedagogic/mendidik)
            Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk dalam persekolahan pada tahun 1972-1973 dalam kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan IKIP Bandung. Untuk itu dalam kurikulum 1975 program pendidikan tentag masalah yang dipandang tidak cukup diajarkan melalui pelajaran sejarah dan geografi, maka dilakukan suatu redoksi mata pelajaran di tingkat SD-SLTA. Untuk beberapa mata pelajaran IPS. Yang serumpun digabung kedalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu pemberlakuan istilah IPS dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat dikatakn sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia. Upaya memasukkan materi ilmu-ilmu social dan humaniora ke dalam kurikulum sekolah di Indonesia disajikan dalam mata pelajaran dan bidang studi jurujsan ilmu pengetahuan social (IPS). Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas dalam rangkaian pertemuan ilmiah yakni pertemuan HISPISI pertama di bandung tahun 1989. Dalam pertemuan ujung pandang M.Numan Soemantri pakarial dan ketua HISPISI menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuaan di Yogyakarta yaitu:
1.      Versi PIPS untuk pendidikabn Dasar dan menengah
2.      Versi PIPS untuk jurusan pendidikan IPS-IKIP
3.      PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan guru IPS.
       Bertitik tolak dari pemikiran diatas mengenai kedudukan konseptual PDIPS dapat identifikasi  sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS yaitu;
1.      Karakteristik potensi dan prilaku belajar siswa SD,SLTP,SLTA
2.      Karakter potensi  dan prilaku belajar mahasiswaFPIPS-IKIP
3.      Kurikulum dan bahan belaja  IPS SD,SLTP,SLTA
4.      Teori,prinsif,strategi,media serta evaluasi pembelajaran IPS
5.      Masalah-masalah social ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak social
2.      Kawasan Pendidikan IPS
a.       Pengertian Pendidikan IPS
            IPS merupakan suatu program pendidikan di tingkat sekolah dan LPTK dan bukan sub disiplin ilmu tersendiri sehingga tidak mudah ditemukan. Baik dalam nonmenklatur, filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu social maupun ilmu pendidikan. Dengan kata lain IPS mengikuti cara pandang yang bersifat terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti geografi, sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi dan sebagainya.
       Definisi pendidikan IPS yang lazim di Indonesia yaitu:
1.      Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu  social dan humaniora serta kegiatan  dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan (Soemantri, 2001:92)
2.      Pendidikan IPS adalah seleksi dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan pendidikan(Soemantri, 2001:92)
Table perbedaan Ilmu Social dengan IPS
Ilmu social ( social science)
Perbedaan
Social studies(IPS)
Semua ilmu yang berkenaan manusia dalam konteks sosilanya atau semua bidanng ilmu yang mempelajari sebagai anggota masyarakat.
Pengertian
Kajian terpadu terhadap ilmu-ilmu social dan humaniora yang dikemas secara social psikologis untuk tujuan pendidikan.
Hal yang berkenaan dengan manusia dan kehidupannya meliputi semua aspek kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat
Ruang lingkup
Program pendidikan tentang ilmu-ilmu social dan humaniora yang dikemas secara psikologis terpadu dan interdisipliner untuk tujuan pendidikan
Aspek kehidupan manusia yang dikaji secara disiplin atau spesialisasi keilmuan
Objek
Aspek kehidupan manusia yang dikaji secara menyeluruh atau sebagaian untuk tujuan pendidikan
Menciptakan tenaga ahli
Tujuan
Membentuk warga Negara yang baik dan tangguh
Disipliner
pendekatan
Interdisipliner, multidisiplin, terpadu
Tingkat universitas/akademik
Tempat belajar
Tingkat sekolah( SD-SLTA dan LPTK





b.      Ruang Lingkup Pendidikan IPS
            Diskursus akademik bahwa mata pelajaran IPS sebagai pedoman pendidikan persekolahan yang dikembangkan atas dasar relevansinya dengan kebutuhan. Adanya isu bahwa IPS atau ilmu-ilmu pengetahuan social agar secara substantif lebih sederhana, rampung atau tidak terlalu sarat beban pun selama ini telah menjadi suatu wacana akademik dikalangan para pakar dan pengembang IPS atau pengetahuan social lainnya.
            Oleh karena itu program pendidikan IPS di beberapa perguruan tinggi yang menyiapkan guru sebagai membuka program konsentrasi pendidikan sebagai berikut :
a.       Pendidikan IPS terpadu
b.      Pendidikan Geografi
c.       Pendidikan Ekonomi
d.      Pendidikan Sejarah
e.       Pendidikan Sosiologi-antropologi
f.       Pendidikan Kewarganegaraan

c.       Karakteristik Pendidikan IPS
            Pendidikan IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah sekolah kelas 1 s/d 12. mungkin lebih sulit dalam pembjarannya dibandingkan yang mono disiplin seperti membelajarkan sejarah, geografi, ekonomi dan lain-lain. Ada dua karakteristik utama IPS yaitu:
a)      Program pendidikan mempunyai tujuan utama membentuk warga Negara, memiliki pengetahuan, keterampilan-keterampilan dan sikap yang dibutuhkan siswa dalam suatu masyarakat demokratis.
b)      Program pendidikan IPS membantu siswa dalam mengonstruk pengetahuan dan sikap dari disiplin akademik sebagai suatu pengalaman khusus.
c)      Program pendidikan IPS mencerminkan bahan pengetahuan, mengembangkan sesuatu yang baru dan menggunakan pendekatan terintegrasi untuk memecahkan isu secara manusiawi.
d.      Beberapa Istilah Terkait IPS
            Pada konteks akademis  sering digunakan istilah IPS di Indonesia dengan bersandar pada beberapa sumber asing yang berbeda hanya karena ada kata sosialnya saja.
Pertama Istilah social science dalam bahasa indonesianya adalah ilmu-ilmu social(jamak)karena pada dasarnya ilmu social tidak tunggal, tetapi terdiri dari beberapa cabang. Kedua, pendidikan social (social education). Pendidikan social merupakan suatu program diluar sekolah. Yang ketiga, pendidikan ilmu social (social science education), banyak digunakan pada masa lampau sebelum lahirnya IPS th. 1975.
e.       Tujuan Pendidikan IPS
            Secara akademik kita bersepakat atas makna bahwa pendidikan IPS merupakan program pendidikan yang materinya bersumber dari ilmu-ilmu social  dan humaniora dalam kerangka mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga Negara maysarakat dan mempersiapkan  peserta didik untuk  bisa melanjutkan kejenjang pendidikan yang tinggi. Mata pelajaran IPS disusun secara sistematis, komperensif dan terpadu dalam proses pemblajaran menuju kedeawasaan dan keberhasilan dalam kehidupan masyarakat. Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1.      Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarkat dan lingkungan
2.      Memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis
3.      Memiliki komitmen
4.      Memiliki kemampuan berkumunikasi,bekerjasama,dan berkompetensi dalam masyarakat majemuk.
f.       Manfaat Pendidikan IPS
            Bersandar dari realitas dan fenomen sosia yang ada didukung oleh masyarakat , maka pendidikan IPS yang misi utamanya adalah penaman dan pembentukan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan social masyarakat  dan pendidikan IPS bagian integral dan memiliki peran yang sangat penting dalam rangka pengembangan kesadaran kebersamaan, karena melalui pendidikan IPS prinsif yang dibangun dalam kehidupan social masyarakat dan adanya penanaman nilai-nilai budaya yang ada dalam kebersamaan.

















BAB 3
PENDIDIKAN IPS SEBAGAI KEGIATAN KEILMUAN

1.      Pembelajaran IPS sebagai Kegiatan Keilmuan
            Lembaga pendidikan formal merupakan lembaga yang dibuat oleh masyarakat,berbeda fungsinya dengan keluarga dan lembaga agama serta berbeda pula  fungsinya dengan lembaga kesenia. Substansi sekolah dalam memainkan perannya berkaitan dengan pendidikan social-civic, sekolah memainkan peran yang sangat esensial khususnya dalam melestarikan dasar-dasar pendidikan kewarganegaraan.  Selanjutnya bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai system, maka pemblajaran ilmu pengetahuan dipandang suatu aktifitas yang bertujuan dan mempunyai metode yang penelitian teknik. Sehingga mampu mencapai tujuan ilmu pengetahuan.
            Pembelajaran ilmu pengetahuan semestinya memang diajukan oleh ilmuan seperti halnya pendidikan agama yang dilakukan agamawan dan pendidikan kesenian. Pembelajaran ilmu pengetahuan rasional sistematik berarti bahwa (1) Pemblajaran dan bentuk pengetahuan merupakan kegiatan yang mengolah materi keilmuan secara objektif. (2) Pemblajaran ilmu pengetahuan serupa dengan seorang ilmu yang sedang melakukan penelitian keilmuan.
2.      Perkembangan pemblajaran ilmu-ilmu social di Amerika Serikat
            Amerika adalah salah satu Negara superpower yang dewasa ini pada dasarnya telah menunjukkan kedigdayaannya pada abad ke 19. Peningkatan konsep-konsep  intelektual seperti setia, pada fakta, mempercepat perubahan eksak dan lain-lain.  Perubahan kurikulum sekolah tersebut berhubungan dengan adanya perubahan kebutuhan utama masyarakat yang menekakankan pada pentingnya sesuatu di dalam suatu periode tertentu dengan isi kurikulum. Ilmu-ilmu social memang mempelajari masyarakat dalam arti yang luas tetapi dalam pembelajaran ilmu ilmu social
3.      Pembelajaran IPS Progresivistis
            Tahun 1918 di Amerika Serikat didirikan sustu perkumpulan pendidikan. Kelompok ini ditopang oleh pragmatism yang menentang system pendidikan yang otoriter dan absolut. Adapun pandangan dari kaum progresivistis tersebut adalah :
a)      Pendidikan bersifat aktif dan dikaitkn dengan minat dan kebutuhan anak
b)      Anak didik harus memperoleh latihan dan memecahkan masalah agar dikemudian hari dapat memecahkan masalah pribadinya
c)      Pendidikan merupakan usaha membudayakan hidup dan bukan hanya mempersiapkan untuk hidup
d)     Pendidikan harus dilaksanakan dalam suasana demokratis
e)      Perananan pembelajaran pendidik adalah membimbinganak didik untuk memcahkan masalah
f)       Sekolah adalah tempat berlatih dan bekerja dengan orang lain bukan tempat untuk bersaing.
           

















BAB 4
PENDIDIKAN IPS: ISU DAN HARAPAN
1.      Pendidikan IPS dan Perubahan Masyarakat
            Stopsky dan Sharon  Lee(1994) menyatakan bahwa masyarakat adalah laboartorium IPS. Oleh karena itu setiap kegiatan pembelajaran IPS harus mampu mengcover realitas masyarakat lingkungan sisiwa hidup dalam kesehariannya. Ada beberapa isu sentral yang berkaitan dengan tataran masyarakay global dalam pembelajaran IPS yaitu: (1) human rights, (2) keep peace environment, (3) local and global political tendency, (4) economic global, (5) decreased moral and society attitude, dan (6) racial and culttur problem. Isu-isu ini merupakan sumber pembelajaran yang sangat strategis untuk memgembangkan potensi dan skill pesertaa didik IPS.
            Pembelajar dalam kapasitasnya sebagai manager  and instrument of learning dituntut paham dan terampil dalam memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran yang dirancang dan dilakukan. Karena pada dasarnya, IPS adalah disiplian ilmu yang selalu bersentuhan dengan isu-isu social kemasyarakatan.
            Adapun bebrapa kritik mendasar yang banyak dimunculakan berbagai pihak seputar pembelajaran social studies, adalah :
·         Mata pelajaran yang hanya berisikan fakta, nama, dan peristiwa a,masa lalu
·         Mata pelajaran yang membosankan.
·         Tidak memiliki nilai praktis ( unaplicable)
·         Sarat materi tanpa makna ( covers too much materials)
·         Tidak ad kontribusi dalam pembangunan masyarakat karena hanya membicarakan masa lalu
·         Pembelajarannya hanya bersumberkan pada buku teks
·         Peserta didik tidak memperoleh sesuatu yang dapat disimpan dalam memeorinya
·         Guru tidak dapat membelajarkan ketrampilan beroikir
·         Guru IPS hanya berangkat dari asumsi bahwa tugas mereka hanya memindahkan pengetahuan dan ketrampilan yang ada pada dirinya ke kepala secara utuh
            Menurut Luchan (1990) pembelajaran IPS merupakan pengembangan seni berkehidupan peserta didik dalam masyarakat (latihan-latihan berkehidupan). Logikanya setiap pembelajaran IPS harus mampu menghadirkan potret real masyarakat peserta didik tempat mereka tumbuh dan berkembang. Pembelajarn IPS bukan hanya menyangkut fakta, tetapi juga ongoing creation of today, and the recreation of yesterday, sehingga yang harus dikembangkan guru adalah pengkondisian kelas sehingga peserta didik mampu merefleksikan masa lalu dalm menyiakapi kehidupan saat ini (present). Senada dengan pemikiran di atas, Mehlinger (1979) menyatakan bahwa social studies is not about “dead events”, but concern with how to management and reflection past based on the present and future lifes. Tujuan dari konsepsi ini adalh mengkondisikan dan melaih peserta didik untuk terbiasa menghadapi tantangandan bertanggung jawab tentang hidupdan kehidupan bangsa dan negaranya. Seorang guru harus mampu menjadikan setiap peserta didik sebagai “ambassador dengan ketrampilan bernegosiasi serta mengambil keputusan yang akurat tentang kehidupan bernegara.
2.      Etika dan Nilai dalam Pendidikan IPS
            Seorang pembelajar harus membelajarkan siswanya menjadi pemimpin dunia di masa mendatang. Hal ini merupakan antisipasi dari kecendrungn tata laku masyarakat global. Artinya, bagaimana peserta didik mampu memerankan dirinya sebagai warga Negara yang baik dan “tahan banting” terhadap dinamika social yang tumbuh dan berkembang dakam masyarakt dunia. Pembelajaran IPS yang baik dan semestinya dikembangkan oleh guru adalah mengajak peserta didik memahami natural settings dari masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkanya dalam proporsinya, seta belajar merumuskan teknik-teknik pemecahannya. Dalam konteks ini akan berkembang keterampilan-keterampilan social tingkat tinggi pada diri mereka,seperti keterampilan dalam bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi, inquiri, dan menjustifikasi sebuah masalah secara objektif.
            Aktivitas belajar harus mampu mendorong siswa melalukan apa yang dipikirkannya,dan menemukan suatu kreasi secara mandiri dalam memecahkan masalah. Karena pada dasarnya tujuan dan setiap pendidik menerima perbedaan dengan tanpa ada keinginan untuk menyatakan suatu permusuhan. Secara umum ada beberpa metode pembelajaran yang bisa dijadikan acuan oleh guru dalam memberikan nilai kepada sisiwa, yaitu : (1) sosiodrama (2) simulasi (3) storyteller (4) demonstarsi individual dan model pembelajaran lain.


3.      Kurikulum Global dalm Pendidikan IPS
            Belajar dan pembelajaran merupakan dua kata yang berbeda namun memiliki kaitan satu sama lain,. Belajar adalah proses yang terencana dan bertujuan serta memerlukan pengkondisian dan instrument tertentu. Sementara itu, dalam konteks pembelajaran telah terkandung makna belajar dan mengajr sehingga pembelajaran lebih ditekankan pada proses interaksi transkasional yang berkembang di kelas untuk mencapai suatu tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam konteks IPS, seorang pembelajar harus mampu menjadikan proses transaksioanl yang berkembang di kelas menjadikan pembelajar mapu mengembangkan potensi dirinya secara optimal. Melalui pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap potensi siswa maka guru akan dapat merancang dan memilih model untuk pembelajaran yang demokratis.
4.      Sekilas “roh” Model Pembelajaran IPS
            Model merupakan kerangka konseptual yang dikembangkan dan dituangkan sebagai pedoman sistematis dalam melaksanakan dan mengembangakna IPS sesuai denga tujuan dan kepentingannya (Stopsky and Sharon Lee, 1994). Ada beberapa mdel pembelajaran yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS seperti : (1) the disciplanary model, (2) the multydisciplanary, (3) citizenship education, (4) the problem inquiry model, dan (5) the humanistic model atau personal model (Gross,1978). Sementara itu, Bart dan Shermish (1987) mengatakan ada 3 model pembelajaran IPS yang sesuai dengan dinamika masyarakat, yaitu (1) IPS as social science model, (2) IPS as citizenship education model, ddan (3) IPS as reflective inquiry models.
       Berkaitan dengan upaya pematangan dan peningkatan profesioanalitas pembelajar, Stopsky dan Sharon menyatakan ada 3 nodel pembelajaran IPS yaitu : (1) aliran ilmuwan social, (2) aliran para pendidik (expertz), (3) aliran gabungan ilmuwan social dan para pendidik.





BAB 5
TUJUAN DAN TRADISI PEMBELAJARAN IPS
1.      Hakekat dan Tujuan Pembelajaran IPS
            Pendidikan IPS dalam kurikulum sekoalah dasar (SD) di Indonesia peertama kali digunakan tahun 1975. Pada kurikulum sekolah dasar tahun 1968 belum digunakan istilah ilmu pengetahuan social sebagai mata pelajran, namun dalam kurikulum SD sebelumnya, tahun 1968 sudah menyajikan ilmu bumi, sejarah dan kewarganegaraan. Sebelum lahirnya kurikulum tahun 1975, di Indonesia sudah dikenal pula dengan beberapa istilah yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan social, seperti civics dalam kurikulum 1962 dan Pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum 1968 sebagai nama dari rumpun mata pelajaran sejarah, geografi dan ekonomi. IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi,seleksi  dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan sejarah, geografi, sosiologi, antropologi dan ekonomi, IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu social yang terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Muriel Crosby  menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan keluarganya dan bagaimana orang-orang memecahkan masalah, dan bagaimana orang hidup dan mengubah dan diubah oleh lingkungannya.
            Pemblajaran IPS lebih menekankan pada aspek pendidikan daripada concept transfer. Artinya penekanan dalam proses pemblajaran IPS bukan pada cara-cara siswa mampu menghapal konsef data, dan fakta semata-mata melainkan cara guru untuk mampu mengembangkan iklim pemblajaran yang memungkinkan siswa memperoleh pemahaman tentang materi yang dibelajarkan dan mengembangkan serta melatih sikap nilai moral dan keterampilan-keterampilabn social yang dimilikinya secara optimal.  Secara akademis IPS erat sekali hubungannya dan kaitanya dengan ilmu-ilmu social. Ilmu-ilmu social merupakan ilmu pengetahuan yang membahas hubungan antara manusia dengan masyarakat dan juga membahas tingkah laku manusia dalam masyarakat. IPS juga sering disebut studi social yang merupakan bidang kajian yang menelaah manusia dalam masyarakat. Selanjutnya pembelajaran IPS dijenjang sekolah dasar dikatakan juga bersifat integrated sehingga materi yang diajarkan dalam IPS merupakan akumulasi dari sejumlah disiplin ilmu social. Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada concept transfer.  

2.      Tradisi dan Model Pembelajaran IPS
            Kalangan pakar pendidikan telah mengembangkan sejumlah model pembelajaran IPS, seperti Barnes, shermish (Suwarama, 1991) yang mengemukakan 3 tradisi pembelajaran yang terdiri dari (1) social studies as social sciences, (2) social studiesnas citizenship education, dan (3) social studies as reflective inquiry. Joice dan Weil (1986) dalam bukunya “Models of Teaching” megemukakan beberapa model mengajar, walaupun di dalm bahasannya lebih banyak meekankan pada kegiatan belajar peserta didik, yang dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu (1) kelompok model pengolahan informasi, (2) kelompok model personal, (3) kelompok model social, dan (4) kelompok model system perilaku. Sementara itu Hilda Taba merancang model “berpikir Induktif”, yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik untuk mengidentifikasi, menggali, dan mengorganisir informasi melalui uji hipotesis yang di dalamnya termasuk pelukisan kaitan-kaitan logis anatar berbagai data.
            Keseluruhan model pembelajaran diatas pada hakekatnya masih melekat dengan warna asalnya, yang mana latar belakangnya adalah budaya asing sebagai mana model itu dikembangkan. Jika kita kaitkan dengan cara pengembangan berfikir yang nasional dalam kegiatan intruksional dikenal pula beberapa model pembelajaran dalam IPS yang lebih menekankan pada pengembangan dan peningkatan kemampuan berpikir ilmiah dan kreatif sebagaimana layaknya ilmuan social, seperti model inquiri, problem solving model, dan jurisprudential model.  Dan juga didalam tradisi pemblajran IPS di Indonesia ada beberapa model pendekatan yang penggorganisasian materi yang dikembangkan dikenal seperti Pendekatan integrasi yang biasanya dikembangkan pada pemblajaran IPS jenjang sekolah dasar, Pendekatan korelasi yang biasanya dikembangkan pada jenjang SLTP dan Pendekatan sparated, yang biasanya dikembangkan pada jenjang SMU. Dilihat dari pendekatan dalam kaitannya dengan tradisi pembelajaran IPS adalah model yang lebih tampak popular dan banyak berpengaruh dalam pengembangan kurikulum IPS adalah model yang menekankan bahwa IPS merupakan mata pelajaran yang disajikan secara terpisah namun, tetap ada kaiatanya antar disiplin ilmu-ilmu social yang satu dengan disiplin ilmu social lainya.




BAB 6
KOMPETENSI PENDIDIKAN IPS
1.      Analisis dan Rekonstruksikan Kompetensi Kurikulum IPS
            Seacara historis-epistemilogis, istilah “kompetensi” lahir sejalan dengan terjadinya perubahan social budaya dari masyarakat dan budaya agraris ke masyrakat dan budaya industry. Dalam perspektif ini, pemaknaan dan penggunaan istilah kompetensi memang mengacu pada filsafat pendidikan teknologikalisme sebagai paradigm unggul dalm masyarakt industry. Akan tetapi istilah kompetensi tidak harus secara ekstrim ditempatkan dan didefinisikan dalam konteksseperti itu, karena sesungguhnya pemaknaan dan pengguanaan sebuah konsep atau istilah selalu mengalami rekonseptualisas, mengacu pada filsafat pendidikan yang digunakan atau mendasarinya. Filsafat parenialiesme menekankan pada kehidupan masyarakat. Esensialisme menekannka pada pembentukan dan pengembangan kompetensi “ keilmuan dan intelektualisme” progresitifeisme menekankan pada pembentukan dan pengembangan kompetensi ‘kritisisme rekontruksionisme” social menekankan pada pembentukan dan pengembangan kompetensi” pemecahan masalah” dan “partisifasi social” bagi kesejahteraan masyarakat.
2.      Kompetensi Personal Siswa
            Kompetensi personal adalah kompetensi yang bertujuan membentuk dan mengembangkan kepribadian dirinya sebagai mahluk personal atau individu yang merupakan hak dan tanggung jawab personal sisiwa sebagai subjek pembelajaran yaitu sebuah anggung jawab yang selama ini terpinggirkan di dalam pendiddikan IPS (Hasan, 2002 ; 20). Orientasi dasar pembentukan dan pengembangan kompetensi personal ini di dalam IPS-SD pada upaya mengenalkan sisiwa dan memebamgun “kesadaran diri” (self awareness) siswa pada dirinya sebagai mahluk pribadi (homo personal) dengan segala keunikan dan keutuhan pribadinya yang senantiasa akan terus berkembang. Dalam tinjauan tersebut simpulan yang dapat dibuat adalah kepemilikan kompetensi konsep dan pengertian siswa dipandang sebagai “crucial component” dan “dominan purpose” dalam IPS sekolah dasar.
3.      Kompetensi Social Siswa
            Kompetensi social adalah kemampuan yang bertujuan membentuk dan mengembangkan karakter atau jati diri siswa sebagai mahluk sosio-kultural, yang dalam pandangan sisiwa diartiakn sebagai mahluk yang senantiasa ingin mencari kawan , perlu bekerja sama, membangun relasi-relasi social di antara mereka guna memenuhi kebutuhan dan kepentingan personal dan sosio-kulturalnya. Kompetensi ini juga dipandang penting untuk memberikan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah yang melibatkan dirinya.
4.      Kompetensi Intelektual Siswa dalam Pendidikan IPS
            Kompetensi-kompetensi intelektual yang harus dimiliki dan dikembangkan pada diri siswa sekolah dasar agar mampu membangun sendiri structural pengetahuan, nilai, sikap, dan tin tindakannya dalam latar kehidupan pribadi dan sosio cultural adalah kemampuan : (1) berpikir kritis-reflektif, (2) berpikir kontekstual, (3) berpikir pragmatis, (4) keruangan /spasial, (5) pemahaman dan kesadaran tantang waktu, (6) logika, (7) pemahaman dan kesadaran kesejarahan.
















BAB 7
POLA PENGORGANISASIAN MATERI PENDIDIKAN IPS
1.      Konsepsi Akademis
            Di saat dunia dihadapkan pada ketidakberfungsian mekanika moral-sosial, maka hanya pendidikanlah yang masih bertahan dengan kesantunan etika dan maknawi moral kemanusiaan (Nitko, 1918;1). Untuk menjadikan sebuah kegiatan pendidikn menjadi “baik” dan “bermakana” bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah apalagi menjadikannya “sebuah permainan” (Abidjani, 2006). Karena melaui tangan-tangan ajaib pendidikan manusia-manusia berkualitas terlahir, dan melalui pendidikn pula terlahir pula manusia-manusia yng menjadi sampah dunia (Whell, 2000). Pendiddikan ideal selalau bersifat “antisipatoris” dan “prepatoris” yakni selalu mengacu pada masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh lebih baik, bernutu, dan bermakna (Buchori, 2001). Akan tetapi dari hasil refleksi dan kajian dari Buchori dan Lasmawan (2007) pendidikan ideal seperti ini telah kehilangan momentum karena masih beermuara pada transfer ilmu dan belum membangun karakter siswa.
2.      Konteks Pengorganisasian Materi Kurikulum IPS-SD
            Berdasarkan hasil observasi dan analisis terhadap rencana pembelajaran (RP) yang dibuat oleh guru dan kinerja guru dalam melakukan pembelajaran IPS, serta ditunjang oleh hasil wawancara dengan 40 orang guru responden dan diskusi dengan 5 guru senior, dapat diidentifiaksi dan diklarifikasi dengan beberapa isu sentral yang berkaitan dengan pembelajaran IPS pada jenjang sekolah dasa berdasarksn sosiologis yang mencakup konteks personal siswa, knteks interpersonal, konteks social cultural dan historical masyarakat.
3.      Pola pengorganisasi isi kikulum IPS sekolah Dasar
            Didalam perspektif kontruktivisme Piagetien ataupun Vygotskyan, organisasi sistematik dan keyakinan yang tersimpan dalam bentuk skema-skema yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Sementara itu perkembangan organisasinya sendiri piaget mengikuti prinsif sirkularitas atau siklus berjenjang dan keterjalinan dan keketatan.




BAB 8
BERPIKIR KRITIS DALAM PEMBELAJARAN IPS
1.        Berpikir Kritis dalam Pembelajaran IPS
            Pengembangan pada reflex ketrampilan berpikir serta penekanan pada reflex nilai sanagat penting dilakukan oleh peserta didik dalam melakukan suatu pembelajaran. Kemampuan berpikir yang dimiliki oleh manusia merupakan suatu potensi yang harus dapat dikembangkan. Karena suatu kemampuan yang dimilikinya atau power resources memiliki peranan yang sangat vital dalam dunia pendidikan. Konsepsi pendidikan berpikir tersebut nantinya digunakan dalam pengadministrasian pendidikan yang lahir sebagai respons yang nantinya dapat disumbangkan dalam berbagai dimensi. Kualitas berpikir yang tinggi, nantinya akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan intelegensi seserorang itu sendiri. Konteks pendidikan berpikir ini akan dapat menggali kemampuan seseorang untuk menampakkan ide-ide brilian yang dimilikinya untuk nantinya dapat diaplikasikan ke permukaan.
            Lester Frank Ward (1983) yang merupakan seorang ahli sosiologi pendidikan di Amerika menyatakan bahwa, intelegensi dapat dikembangkan melalui pendidikan. Dia mejelaskan perlunya wajib belajar yang merupakan alat bagi pemerataan. Pendapat ini banyak menarik perhatian politisi dan pakar pendidikan di Amerika. Karena pada zaman tersebut sedang berkembang kuat teori “Darwinisme” dan pendapatnya ini sangat kondradiktif dengan teori yang ditawarkannya tersebut. Karena metode yang yang diterapkannya tersebut akan dapat  menyadarkan serta memantapkan prilaku siswa sebagai seorang individu dalam menyadari tentang keinginan dan aspirasi orang lain. Serta teori Darwinisme ini akan dapat melahirkan suatu sikap pluralisme dimana seseorang akan mau menghargai perbedaan nilai, kepribadian, serta budaya yang ada dalam diri orang lain, dan dapat memupuk rasa toleransi yang sangat tinggi antar sesama.
2.        Berpikir Kreatif dalam IPS
            Dalam konteks ini siswa peranan tenaga pendidik sangat diperlukan dalam meningkatkan kreatifitas siswa, sehingga nantinya akan melahirkan siswa yang bijaksana dalam segala dimensinya. Jika kita menilik sedikit ke belakang, kurikulum  pendidikan IPS khususnya setelah perang dunia ke II, pola pengembangan kurikulum masih sangat  didominasi oleh pemberian materi masih sangat baku sehingga secara psikologis akan membebani siswa. Sehingga Logikanya pendidikan pada saat itu hanya mengkondisikan paham-paham yang sudah pernah berkembang, dan secara tidak langsung hal ini dapat mempengaruhi psikologis siswa. Tetapi pada pembelajaran tersebut kreatifitas si pembelajar tidak terbatas pada acuan kurikulum formal. Melainkan bisa juga hingga ke luar sekolah.
Untuk itu dalam memilih pendekatan dan model pembelajaran yang menuntut siswa agar lebih meningkatkan kreatifitasnya, seorang tenaga pendidik harus mampu mengenal tingkat psikologis dari siswanya tersebut agar siswa tidak tertekan dalam mengikuti suatu pembelajaran.
3.         Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran IPS
            Penemuan teknologi sangat membantu dalambidang pendidikan IPS. Kemajuan teknologi sangat berkontribusi besar dalam konteks pembelajaran IPS. Karena antara guru dan siswa akan dapat mengakses bahan pembelajaran yang baru untuk kemajuan dalam pembelajaran IPS. Forbes (1984) mengaitkan kemajuan teknologi dengan pendidikan berpikir dalam dimensi persekolahan. Selain itu Forbes (1984) juga mengemukakan tiga teori dalam berpikir, yaitu (1) content thinking skills, (2) reasoning skills, (3) learning to learn skills. Tiga teori berpikir ini akan dapat meningkatkan pola berpikir guru dan siswa dalam peningkatan kualitas dan profesionalisme, dalam era globalisasi seperti sekarang ini. 
            Agar tidak terjadi penyimpangan terhadap penggunaan teknologi yang dapat menimbulkan pergeseran terhadap nilai cultural masyarakat, kondisi cultural masyarakat sangat mutlak diperhatikan. Untuk itu kita sebagai pembelajar maupun pengajar, harus mampu memilih dan memilah mana informasi yang baik dan mana informasi yang tidak baik. Untuk itu peran ekstra dari seorang guru sangat diperlukan, karena jika hanya mengandalkan kemampuan politisi dan praktisi pendidikan belum tentu akan menimbulkan efek yang baik saja. Seorang guru tidak hanya berperan sebagai transfer ilmu kepada murid-muridnya, akan tetapi seorang guru harus mampu mentranspormasi ilmu-ilmu kepada para muridnya. Andai kata hal tersebut dapat terwujud maka seorang siswa akan dapat memberikan kontribusi yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
            Barry K. Beyer (1971) menyatakan bahwa pemberian kesempatan yang leluasa kepada pembelajar untuk menjelajahi alam sekitar dan diluarnya dapat menumbuhkan sikap dan ketrampilan inkuiri dikalangan pebelajar itu sendiri. Metode inkuiri ini adalah metode yang menekankan pada penganalisisan tentang realita-realita sosial yang sedang hangat dibicarakan dimasyarakat. Sehinggga pada konteks pembelajaran ini siswa dituntut untuk lebih berpikir kritis. Dan disinilah akan sangat kelihatan tidak ada kegiatan belajar tanpa berpikir.
            Metode inkuiri yang berbasis metode ilmiah ini memiliki peran yang signifikan terhadap metode-metode lainnya, seperti (1) metode proses hasil dari pembelajarannya, (2) metode konstruktivis, (3) metode cooperative, (4) metode jurisprudensi sosial, dan (5) metode problem solving.
            Berkaitan dengan metode diatas, yang digunakan dalam pembelajaran IPS. Joice and Weil (1986), juga mengemukakan 4 kelompok model pembelajaran. (1) kelompok pengelolaan informasi, (2) kelompok personal, (3) kelompok sosial, (4) kelompok sistem perilaku. Keempat metode ini sangat berperan besar dalam pembelajaran IPS yang tentunya dapat digunakan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi seperti, isu-isu global, kesejahtraan, permasalahan lingkungan, HAM, serta masalah-masalah sosial lainnya.
            Jadi dalam pembelajaran IPS yang berperan aktif tidak hanya seorang guru saja, tetapi bagaimana cara menuntut keaktifan dari seorang siswa dengan mengunakan kecanggihan teknologi yang sudah ada, serta bagaimana cara  pemanfaatan teknologi tersebut dengan baik. Khususnya ditengah-tengah arus globalisasi yang bergerak cepat seperti saat ini.
4.        Komunikasi dalam Pembelajaran IPS
Buku teks dalam pembelajaran IPS sangatlah penting. Dalam pembelajaran IPS media komunikasi sangat penting keberadaannya untuk menunjang proses dalam belajar. Karena dalam belajar IPS, tidak cukup hanya mempelajari tentang teori-teorinya saja, tetapi kita harus tau bagaimana kondisi kehidupan sosial atau realita kehidupan sosial yang sedang berkembang di masyarakat. Karena tujuan kita mempelajari teori dalam IPS adalah agar dapat di implementasikan dalam kehidupan kita dimasyarakat.
Media komunikasi seperti Televisi,  Radio, Surat Kabar serta media-media lainnya dapat kita manfaatkan demi kelancaran pembelajaran. Karena dengan penggunaan media tersebut kita akan mampu mengetahui tentang kasus-kasus yang sedang berkembang serta hangat dibicarakan yang nantinya akan dapat kita bahas dalam pembelajaran serta sebagai generasi muda tentunya kita akan dapat memberikan suatu solusi yang membangun terhadap penyelesaian kasus tersebut.
5.        Penggunaan Asesmen dalam Pembelajaran IPS
            Proses belajar mengajar adalah salah satu hal yang yang instruksional dan terencana. Interaksi aktif ini membutuhkan piranti pendukung yang memada untuk mengaktualisasi tujuan yang telah ditetapkan. Kesuksesan dalam proses belajar mengajar harus selalu disertai dengan piranti pembelajaran yang memadai serta metode belajar yang efektif dan menyenangkan. Seorang siswa yang datang ke sekolah untuk belajar, sering dikatakan siswa tersebut membawa misi yang sangat berat, yaitu mencapai kesuksesan dalam belajar. Karena permintaan dari orang tua, media massa, serta pembuat kebijakan, kesuksesan belajar siswa dapat diukur dengan angka-angka. Hal ini tentu sangat membuat siswa tertekan. Karena nilai dalam pembelajaran yang menunjukkan angka yang kecil tentunya juga menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan belajar siswa itu kecil. Sehingga disini akan dapat mempengaruhi kondisi psikologis dari siswa itu sendiri. Jadi yang harus kelihatan disini adalah bagaimana peran dari seorang guru, seorang guru harus lebih melihat aspek kognitif dari siswanya dengan mengesampingkan aspek yang lain yaitu aspek afeksi dan psikomotorik.
            Memasuki abad ke 21, pembelajaran kini dapat dilakukan dengan menggunakan asesmen. Jenis asasmen yang dapat digunakan adalah (1) portofolio, (2) anekdot record, (3) catatan harian siswa, (4) lembar observasi, (5) buku laporan siswa, (6) skala sikap yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan si pembelajar.
Melalui asesmen ini guru akan dapat mengetahui potensi-potensi apa saja yang ada pada diri siswanya. Bukan semata-mata dilihat dari nilainya tes tiap semester saja, tetapi dilihat bagaimana siswa tersebut melakukan proses pembelajaran. Penggunaan asesmen ini nantinya akan memberikan suatu keuntungan bagi siswa. Diantaranya yaitu, (1) mengurangi rasa cemas, (2) lebih bersifat humanistis, (3) dapat menilai diri secara komprehensif, dan (4) meningkatkan partisipasi belajar selama pembelajaran berlangsung. Tetapi penggunaan asesmen ini hanya dapat digunakan dalam jenjang pendidikan tingkat Sekolah Dasar dan Tingkat Sekolah Menengah.
6.        Masyarakat Dunia, Masyarakat Kelas, dan Keadilan Sosial
            Kemandirian siswa adalah salah satu kunci dari keberhasilan bertahan dalam suatu tataran masyarakat global. Menyikapi hal itu, pembelajaran IPS disini juga sebenarnya menuntut siswa agar mampu meningkatkan kemandirian pada dirinya, walaupan kadangkal pembelajaran IPS selalu mengorientasikan manusia sebagai mahluk sosial. Menurut Stopsky dan Sharon Lee (1994) mengemukakan bahwa tingkat kemandirian pada siswa dapat dibelajarkan melalui sejarah. Sejarah dapat membantu siswa memahami masa lalu, masa kehidupan saat ini serta menyiapkan diri dalam menghadapi masa depan yang penuh dengan tantangan. Untuk itu mereka berpendapat bahwa pembelajarharus mampu mengkoordinasikan siswa untuk melakukan refleksi terhadap sejarah masyarakat yang merupakan kekayaan ilmu pengetahuan yang tak ternilai.
            Agar keseimbangan dalam kehidupan masyarakat dunia dapat terwujud. Pembelajar juga dituntut untuk mampu memahami tentang keragaman budaya, nilai, kebiasaan, serta adat istiadat dari masyarakat yang hidup dimuka bumi ini. Perbedaan yang ada dimasyarakat hendaklah jangan kita anggap sebagai sumbu yang dapat menyulut api pertentangan dan permusuhan, tetapi marilah kita anggap sebagai suatu kekayaan budaya yang kita miliki, perbedaan tersebut hendaknya kita gunakan sebagai alat untuk menjamin kerjasama secara demokratis. Hal ini tentu saja sangat berkaitan dengan pengembangan konsep keadilan. Dengan berjalannya konsep keadilan dengan baik pada suatu masyarakat maka tidak akan ada lagi yang namanya diskriminasi dalam segala aspek kehidupan. Berdasarkan pemikiran yang inovatif tersebut dapat ditangkap pesan yang disampaikan merupakan embrio inovasi dalam pembelajaran IPS.




























BAB 9
PENDIDIKAN NILAI DALAM PEMBELAJARAN IPS
1.        Pengembangan Nilai dalam Pembelajaran IPS
            Pendidikan IPS sebagai salah satu mata pelajaran wajib di jenjang sekolah memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya pengembangan pendidikan nilai terhadap peserta didiknya sebagai salah satu pendidikan yang wajib diberikan disekolah. Namun realitasnya sekarang ini pendidikan IPS belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan pendidikan nilai saat ini. Pendidikan nilai yang seharusnya diberikan dalam IPS adalah pendidikan nilai yang berorientasikan pada konsep nilai budaya dan ideologi kebangsaan.
            Realita dilapangan menunjukkan bahwa pembelajaran afektif dalam IPS akan diredusir ke arah transformasi pengetahuan dalam bentuk gifted. Yang berimplikasi pada pendidikan nilai direduksi menjadi pengajaran nilai yang gersang dari nilai itu sendiri. Pendidikan IPS merupakan padanan dari “Social Studies” dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut pertama kalinya dikemukakan di AS pada tahun 1913 mengadopsi nama social studies yang mengembangkan kurikulum di AS. Sedangkan di Indonesia istilah IPS pertama kali ada pada tahun 1975 yang digabungkan kedalam suatu bidang studi yang kita kenal sekarang sebagai bidang studi ilmu pengetahuan sosial. Pada dasarnya, Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial sebagai sebuah disiplin yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan membahas prilaku manusia dengan masyarakat. Preston (1986) mengatakan “ The social science are the fields of knowledge which deal with mean’s social behavior and his social institution” . Disamping itu pendidikan IPS juga menelaah tentang kejadian-kejadian sosial yang sedang berkembang dimasyarakat. Kajian-kajian dari ilmu IPS itu sendiri adalah, ilmu geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, ilmu politik, dan sosiologi (Hamid Hasan : 1996).
            Nilai yang diberikan pada IPS bukan sebatas pada introduction and comprehension semata-mata, namun bagaimana pembelajaran IPS yang dilakukan oleh guru mampu memfasilitasi peserta didik untuk memahami, menganalisis, serta menginternalisasikan nilai sehingga akan menjadi seimbang dalam kehidupannya. Maka logikanya pemikiran, sikap, dan prilaku seseorang itu akan mencerminkan nilai yang dianutnya. Pada dasarnya hakekat pendidikan nilai hanya menekankan guru sebagai fasilitator dan mediator yang dapat mengondisikan peserta didik agar terampil dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan memecahkan berbagai masalah yang ada berdasarkan acuan nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada dan telah menjadi keyakinannya. Lebih daripada itu pembelajaran IPS harus diarahkan pada pengembangan dan pelatihan peserta didik dalam menganalisis dan dan mengklarifikasi nilai ini nantinya akan dapat digunakan oleh peserta didik sebagai pilihan yang akurat serta sebagai pegangan hidupnya.
2.        Kurikulum IPS dan Pendidikan Nilai di Sekolah
            Kurikulum pendidikan IPS Sekolah Menengah tahun 2006 menganut aliran kedua dalam kelompok pertama, serta berpandangan bahwa pendidikan IPS merupakan fusi antara berbagai disiplin ilmu sosial dengan humaniora (Lasmawan 2006). Selanjutnya ia juga menyatakan pula bahwa pembelajaran pendidikan IPS pada jenjang sekolah menengah bersifat integrated, sehingga materi yang dibelajarkan dalam pendidikan IPS merupakan akumulasi dari sejumlah disiplin ilmu sosial. Selain itu pembelajaran IPS juga cenderung hanya merupakan transfer konsep dibandingkan dengan transformasi nilai dari guru kepada siswa. Dengan demikian pendidikan IPS seharusnya harus lebih di transformasikan dengan aspek kependidikannya. Jika dibandingkan dengan kurikulum 1994, kurikulum tersebut hanya memberikan pengertian tentang pendidikan IPS sebagai mata pelajaran yang memberikan perpaduan dari sejumlah mata pelajaran sosial.
            Pendidikan IPS itu sendiri sebenarnya adalah menekankan pada kepentingan dari program pendidikan tersebut. Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat tempat anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di linkungan disekitarnya. Selain itu Pendidikan IPS sebenarnya juga diajarkan untuk dapat mendidik seorang anak agar menjadi anak yang baik dan berbakti pada orang tuanya.
            Ada tiga tujuan pendidikan IPS yang menjadi tradisi pendidikan IPS itu sendiri, yaitu (1) social studies taught as citizenship transmission, (2) social studies taught as social sciences, dan (3) social studies as reflective inquiry. Pandangan ini sejalan dengan tujuan institusional penylenggaraan pendidikan di sekolah menengah menurut kurikulum 1994, yaitu (1) mendidik siswa agar menjadi manusia Indonesia seutuhnya berdasarkan Pancasila yang mampu membangun dirinya sendiri serta ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan bangsa, (2) memberi bekal kemampuan yang diperlukan bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, dan (3) memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya.
            Pembelajaran IPS pada masa sekarang ini cenderung terpilah, karena bahan ajar yang dibelajarkan itu terpisah. Sehingga pemahaman peserta didik tidak memusat tetapi bercabang antara pemahaman ilmu yang satu dengan ilmu yang lain. Karena pendidikan IPS adalah suatu pendidikan yang didasari oleh rasionalitas untuk menjadi seorang yang baik dan bertanggung jawab pada stabilitas nasional serta stabilitas bangsanya.
3.        Model Pendidikan Nilai dalam IPS
            Pola pembelajaran pendididkan IPS di sekkolah menengah lebih menekankan pada unsure pendididkan dan pembekalan pada siswa sehingga penekanan pembelajarannya bukan sekedar upaya menjejali siswa dengan konsep yang bersifat harapan belaka. Sikap, moral, ketrampilan sangat penting dalam konteks pembelajaran dalam IPS. Karena aspek-aspek atau unsur-unsur tersebut secara tidak langsung merupakan konteks model pendidikan nilai yang terdapat dalam Pendidikan IPS. Karena unsur-unsur tersebut sangat berguna dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni tatanan kehidupan dalam masyarakat. Di sinilah sebenarnya pendekatan misi dari pendidikan IPS di Sekolah Menengah. Seorang guru hendaknya harus mampu mengembangkan tujuan pembelajaran ini sesuai dengan sesuai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa. Agar pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih kondusif dan berguna bagi siswa.
            Menyadari substansi dari tujuan pendididkan IPS pada jenjang sekolah menengah substansi dari tujuan pembelajaran tidak hanya dikembangkan melalui kemampuan kognitif belaka, melainkkan juga diarahkan pada pembekalan sikap, nilai, dan ketrampilan dasar kepada siswa untuk bekal dirinya dalam memahami lingkungan masyarakatnya sehingga pembelajaran itu benar-benar mampu menndukung tercapainya tujuan IPS.
            Seorang guru dalam mengembangkan potensi siswanya dapat melaksanakannya melalui upaya pembekalan dan pengembangan kemampuan, nilai, sikap, dan ketrampilan anak didik (Lasmawan 1999; Hamid Hasan;1996). Iklim belajar yang menyenangkan harus mampu diterapkan oleh guru agar siswa lebih senang dalam menerima pelajaran serta lebih mudah paham terhadap apa yang dipelajarinya. Model pendidikan nilai dalam IPS, yang secara psikologis berada dalam tahap operasional-kongkrit, yang seharusnya mengenalkan pada pendidikan, dan penginternalisasian secara empirical yang berarti nilai yang akan ditanamkan pada mereka harus disesuaikan dengan tingkat kematangan psikologis siswa.
            Model pendidikan nilai yang selama ini diaplikasikan dalam pendidikan IPS lebih cenderung hanya menekankan pada aspek pemahaman tentang materinya saja. Tidak menekankan pada aspek pemahaman nilai yang terkandung di dalamnya. Untuk anak sekolah tingkat menengah, nilai-nilai yang logis dibelajarkan adalah nilai kesetiakawanan, nilai kebersihan, nilai kegotongroyongan, nilai demokrasi, nilai kekeluargaan, nilai kebangsaan, dan nilai kemandirian. Konsep nilai tersebut sangat mudah disederhanakan dan dapat dipahami. Sehingga Nilai-nilai tersebut kelak akan berguna bagi anak tersebut. Tingkat keberhasilan pendidikan nilai dalam IPS telah banyak memberikan kontribusi terhadap kemampuan dan ketrampilan guru dalam mendidik siswanya, serta ketrampilan siswa secara menyeluruh yang mampu memahami dengan mudah konsep dari nilai-nilai tersebut. Secara substansial pendidikan nilai merupakan suatu keharusan dalam pendidikan IPS.





























BAB 10
PENDIDIKAN MULTIKULTUR
DALAM PEMBELAJARAN IPS
1.        Pengantar
            Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) telah menghadirkan tantangan baru dan sekaligus peluang baru terhadap umat manusia. Dalam konteks ini manusia harus selalu siap untuk bersaing dalam era globalisasi. Karena globalisasi adalah implikasi dari kemajuan IPTEKS. Seseorang harus mampu untuk berpikir lebih berkembang, serta mengarah ke arah yang maju, dalam upaya menghadapi era globalisasi yang tanpa batas ini. Agar manusia dapat eksis dalam konteks kehidupan yang lebih dinamis pada masa sekarang ini.
            Globalisasi merupakan suatu kehidupan yang tanpa batas, tetapi dalam masa ini telah banyak lahir semangat nasionalisme dikalangan bangsa-bangsa dunia. Revolusi informasi dan komunikasi sebagai dampak dampak langsung dari kemajuan IPTEKS telah menghilangkan batasan-batasan regon kewilayahan. Keberagaman suku, agama, etnis, dan bahasa telah menjadi warna abadi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, pemahaman terhadap keberagaman oleh setiap masyarakat merupakan sebuah kewajiban.
            Keberagaman Agama, etnis, suku bangsa, serta budaya merupakan suatu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, harusnya inilah yang dapat mendorong bamgsa Indonesia untuk dapat membangkitkan rasa nasionalisme kebangsaan, agar tidak luntur seiring dengan dampak globalisasi yang terus masuk mempengaruhi seluruh aspek kebangsaan Indonesia. Dalam multikulturalisme, sebuah masyarakat mempunyai kebudayaan yang berlaku umum dimana coraknya seperti sebuah mosaik. Didalam mosaik, kebudayaan dan masyarakat-masyarakat yang lebih kecil juga tercakup, yang nantinya akan mendorong terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut.
            Multikulturalisme mengakui adanya perbedaan dalam masyarakat, yang mana perbedaan tersebut bukan hanya perbedaan deskriptif, tetapi juga perbedaan normative. Tanpa adanya kesadaran pada multikulturalisme, niscaya nasionalisme yang selama ini dibangun akan tercabik-cabik oleh konflik dan gerakan separatisme yang sifatnya sangat merusak dan memecah belah.
            Keberadaan PKn tentunya sangat menekankan pada disiplin keilmuwan yang mencirikan bahwa multikulturalisme sangat penting keberadaannya. Karena dalam multikulturalisme diperlukan “strategi dan model” pendidikan multikultur yang terintegrasi secar holistic dalam beberapa mata pelajaran/disiplin ilmu, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Sehingga pada saatnya nanti masyarakat akan mampu melakoni kesatuan yang multikultur dalam wadah Negara.
2.        Konsepsi Pendidikan Multikultur
            Sekarang ini, pendidikan multikultur di Indonesia sangatlah diperlukan. Karena dampak-dampak globalisasi baik itu dampak positif maupun negatif telah banyak tumbuh dan berkembang di Indonesia. Oleh sebab itu kedepannya di perlukan pendidikan multikultur secara terintegrasi dan secara holistic di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
            Pengembangan model pendidikan multikultur harus diorentasikan kepada (1) penanaman pemahaman dan kesadaran akan kebergaman dalam kesatuan, (2) pengintegrasian domain multikultur secara holistik ke dalam beberapa mata pelajaran, (3) pengembangan konsep dan generalisasi pokok pendidikan multikultur, (4) model pengorganisasian materi pendidikan multikultur, dan (5) pengembangan model penilaian kempetensi multikultur.
            Pendidikan multicultural adalah pendidikan yang muncul pada masa PD II yan merupakan gejala baru dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak ntuk mandapatkan pendidikan. Indonesia adalah negara multikultural dengan keanekaragaman agama, adat istiadat, budaya, dan suku bangsa. Namun dampak negatif dari akibat keberanekaragaman tersebut masih sangat dirasakan. Hal ini dikarenakan masih banyaknya diskriminasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terkait dengan budaya kedaerahan pada masing-masing daerah yang ada di Indonesia. Pendidikan IPS sangat besar pengaruhnya dalam membentuk kesadaran dan karakter bangsa. Secara substansial, IPS dapat mengembangkan kesadaran secara multicultural yang bersifat normatif.
            Terkait dengan hal diatas, ada tiga jenis pendidikan multikultur yang selama ini telah dikembangkan dibeberapa negara di Amerika, Asia, Eropa, dan Australia, yaitu (1) pendidikan multikultur yang menekankan pada pencapaian informasi, yaitu model pendidikan yang membelajarkan dan mengkondisikan siswa untuk mengenal sebanyak-banyaknya kebudayaan, ras, etnis, bahasa, agama, dan hal-hal lainnya yang ada diberbagai belahan dunia, (2) pendidikan multikultur yang menekankan pada bagaimana siswa belajar tentang keberagaman, yaitu sebuah model pendidikan yang memberikan penekanan pada bagaimana siswa mengenal, memahami, dan menyadari tentang prulalitas bangsa dan negaranya di tengah-tengah kehidupan masyarakat dunia yang sangat beragam sehingga pada saatnya nanti mereka dapat melakoni kehidupan di tengah-tengah keberagaman budaya, dan (3) model pendidikan multikultur yang menekankan pada isu dan tindakan sosial, yaitu sebuah model pendidikan multikultur yang membelajarkan dan melatih siswa untuk selalu tanggap dan terampil menyikapi isu-isu sosial dan budaya serta melakukan tendakan yang relevan terkait dengan isu-isu yang ada dimasyarakatnya.
            Tujuan dari pendidikan multikultur menurut Rahardjo (2005) adalah (1) meningkatkan konsep dan pemahaman diri, (2) meningkatkan sensitivitas terhadap orang lain, dan masyarakat bangsa lainnya, (3) meningkatkan keberterimaan dan pemahaman terhadap keberagaman, konflik sosial, kebudayaan nasional, budaya dunia, nilai diri, dan perilaku sosial standar, (4) meningkatkan kemampuan mengambil keputusan berdasarkan analisis dan sintesis terhadap masalah yang timbul dari pluralitas masyarakat, (5) berpikir terbuka saat dihadapkan pada masalah, (6) meningkatkan pemahaman terhadap sejarah bangsa, ketrampilan berpikir, dan sikap kebersamaan dalam perbedaan yang alamiah, dan (7) meningkatkan nasionalisme dan penghargaan terhadap bangsa lain.
Melalui pendidikan multikultur, siswa dapat memahami dan mengapresiasikan nilai diri dan masyarakatnya di tengah-tengah keberagaman budaya. Melalui pembiasan berfikir  dan bersikap I tengah-tengah masyarakat. Meleui pengembangan materi dan modek pendidikan multikultur diharapkan program pendidikan multikultur semakin familiar dikalangan guru dan siswa, sehingga nantinya dapat menjadi program pendidikan wajib dalam konstalasi kurikulum nasional.
3.        Pendidikan Multikultur dalam Konteks Instruksional
            Proses Pendidikan multikultur tentunya harus dilaksanakan dengan demokratis, tentunya dalam hal ini dibutuhkan metode untuk mengakses informasi secara leluasa. Ada beberapa metode pembelajaran yang visibel yang dapat diterapkan dalam pendidikan multikultur menurut Schement (2002, Jannes (2001) dan Katryn (2000).
            Moralizing, memberikan instruksi, perintah, nasehat, wejangan, dan pendampingan kepada siswa dalam usahanya memahami pluralitas masyarakat.
1.                  Modelling, yaitu menjadikan diri sendiri atau orang lain sebagai contoh atau teladan dalam menghayati nilai-nilai pluraitas dalam kegiatan real di dalam kelas.
2.                  Trials and errors atau Laisez fair, yaitu memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan sikapnya sendiri, termasuk untuk melakukan kesalahan dan membiarkan ia belajar dari kesalahannya dalam memahami pradigma pluralitas masyarakat.
3.                  Values Clarification Tecnique (VCT), yaitu penjernihan, penjelasan, dan penyadaran (conscientization) nilai-nilai, lewat simulasi dan sosiodrama, sarasehan, diskusi, refleksi dan sebagainya.
4.                  Conflict Resolution, yaitu mengajak siswa untuk menggagas, menerapkan, dan merumuskan resolusi terkait keberagaman masyarakat lokal, regional, nasional, dan global melaui kegiatan proyek kelas, diskusi, refleksi, dan melaksanakan tindakan tentang sebuah permasalahan yang timbul karena pluralitas masyarakat.

Dalam siposium pendidikan di Bangkok pada tahun 1990 yang dilenggarakan oleh UNESCO dan siposium di Kuta Bali yang diselenggarakan oleh World Bank-ADB-LP3ES sama-sama menjelaskan bahwa perhatian pembangunan model pendidikan multikultur untuk menghindari bias nasionalisme dan hilangnya nasionalisme kebangsaan warga masyarakat. Hal ini dapat dilaksanakan melalui:
1.                  Pengembangan personalita (fisik, emosi, intelek, etika-moral).
2.                  Mengembangkan pengetahuan dasar tentang masyarakat dunia (humanities, pengetahuan, ketrampilan, sosial dan teknologi, sosial ekonomi, pengalaman praktis, dan multikulturalisme) yang bermakna bagi kehidupan.
3.                  Mengembangkan kreatifitas dengan eksplorasi bebas, melalui discoveri dan inkuiri tentang multikulturalisme.
4.                  Pengintegrasian pendidikan multikultur dalam kurikulum pendidikan nasional dengan porsi yang proporsional.
Strategi Pendidikan multikultur dalam kegiatan kelas bisa dilakukan dengan mengembangkan atau menerapkan model cooperative learning dengan mengangkat berbagai kasus yang sedang berkembang di masyarakat serta dalam model jurisprudensi.

 Sementara itu, Jannes (2001) menyatakan bahwa focus pendidikan multikultur dapat diarahkan pada :
1.                  Pembentukan karakter multikulturalisme siswa through daily activities.
2.                  Pelatihan hidup bersama dalam keberagaman melalui sosiodrama and social fragmentation.
3.                  Pembentukan jiwa tanggung jawab dan ketertanggapan sosial dengan proyek kelas dan public study.
4.                  Pelatihan ketrampilan sosial dan moral sosial melalui pengembangan sistem kerja kooperatif dan learning by action.
5.                  Pengembangan jiwa dan ketrampilan bertoleransi dan berdemokrasi melalui class discussion and social action.

4.    Pendidikan Multikultur dalam PKn dan IPS
            PKn adalah salah satu mata pelajaran wajib yang harus dibelajarkan kepada siswa dari tingkat SD sampai SMA. Konteks pembelajaran PKn adalah suatu pembelajaran yang dapat menciptakan suatu Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh dan berkualitas serta memiliki wawasan dan ketrampilan dalam kehidupan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Lasmawan melalui PKn, siswa dapat belajar dan melatihkan potensi dirinya secara optimal tentang cara hidup, menghadapi masalah, dan menyelesaikan masalah berdasarkan peraturan formal yang berlaku, sehingga terwujudnya stabilitas nasional yang kondusif. Dalam PKn tujuan utama dari pendidikan ini adalah bagaimana menekankan kita untuk menjadi warga negara yang baik, yang bermoral, mau taat akan hukum dan norma serta sikap saling menghormati perbedaan antara diri kita masing-masing. Substansi pendidikan PKn pada IPS yaitu bagaimana siswa mengenal diri dan lingkungannya sehingga pada saat mereka telah terjun dalam realitas sosial kemasyarakatan dapat mewujudkan civic community yang menjadi target akhir dari pembelajaran IPS. Untuk mengintegrasikan materi pendidikan multikultur dan PKn (khusunya budi pekerti), secara integratif dalam pendidikan IPS diperlukan strategi pemilihan model pengorganisasian materi yang cermat, sehingga tidak mengurangi substansi dalam pembelajaran.

            Berdasarkan temuan penelitian diatas, secara rasional dapat tampak pada dasarnya dalam mata pelajaran PKn dan IPS terbuka peluang untuk mengintegrasikan pendidikan multikultur. Di sisi lain, pendidikan multikultur saat ini telah menjadi kebutuhan bagi sebagian besar bangsa yang memiliki tingkat hiterogenitas tinggi, termasuk didalamnya negara Indonesia.






BAB 11
MODEL BELAJAR KOOPERATIF
1.      Konsep Dasar Model Kooperatif
Model pembelajaran cooperative learning adalah salah satu model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek pembelajaran. Dengan suasana kelas yang demokratis, yang saling membelajarkan memberi kesempatan peluang yang lebih besar dalam memberdayakan potensi siswa secara maksimal. Model pembelajaran cooperative learning akan dapat memberikan nuansa baru dalam pelaksanaan pembelajaran oleh semua bidang studi atau mata pelajaran yang diampu guru. Karena pembelajaran cooperative learning dan beberapa hasil penelitian, baik pakar pendidikan dalam maupun luar negeri telah memberikan dampak luas terhadap keberhasilan dalam proses pembelajaran. Peran guru dalam pembelajaran cooperative learning sebagai fasilitator, moderator, organisator dan mediator.
Disini baik guru maupun siswa di dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan model cooperative learning yang memperoleh beberapa yaitu Pertama, Melalui cooperative learning menimbulkan suasana yang baru dalam pembelajaran. Kedua membantu dalam  mengidentifikasikan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan mencarikan alternatif pemecahannya. Ketiga, penggunaannya cooperative learning merupakan suatu model yang efektif untuk mengembangkan program pembelajaran terpadu. Keempat, melalui cooperative learning dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan banyak berpusat pada siswa. Kelima, dengan cooperative learning mampu mengembangkan kesadaran pada diri siswa terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan sekitar. Dan keenam, dengan cooperative learning mampu melatih siswa dalam berkomunikasi seperti berani mengemukakan pendapat.
2.      Pengelolaan Kelas Kooperatif
Pengaturan kelas yang baik merupakan langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar siswa secara keseluruhan. Sehingga dalam pelaksanaan model cooperative learning dibutuhkan kenginan dan kemampuan serta kreativitas guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan model, guru bukannya bertambah pasif tetapi harus menjadi lebih aktif terutama saat menyusun rencana pembelajaran secara matang, pengaturan kelas saat pelaksanaan dan membuat tugas untuk dikerjakan oleh siswa bersama dengan kelompoknya. Dalam pengelolaan kelas model cooperative learning ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yakni :

a.       pengelompokan,
b.      pemberian motivasi kepada kelompok,
c.       penataan ruang kelas.
3.      Teori Rekonstruksi Sosial Vygotsky dalam Model Kooperatif
Dalam teori Vygotsky yang terpenting  adalah interaksi antara aspek internal dan eksternal pembelajaran dengan menekankan aspek lingkungan sosial pembelajaran. Ide penting lain dari Vygotsky adalah scaffolding. Scaffolding yaitu pemberian sejumlah kemampuan oleh guru kepada anak pada tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Teori pembelajaran Vygotsky juga dapat digunakan sebagai salah satu teori di dalam model cooperative learning. Lasmawan (2010) secara terperinci mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan “zon perkembangan proksima” adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat p[erkembangna potensial. Perkembangan tingkat potensial ini dapat disalurka dengan pembelajara cooperative learning.  Menurutnya pembelajaran terjadi ketika siswa bekerja dalam zona perkembangan proksima. Zona perkembangan proksima adalah tingkat perkembangan sedikit diatas tingkat perkembanagan seseorang pada ketika pembelajaran berlaku. Dalam teori ini ada hubungan secara langsung antara domain kognitif dengan sosiobudaya.
4.      Teori pembelajaran Piaget
Satu lagi teori pembelajaran yang dapat digunakan pada landasan dalam model cooperative learning menurut Piaget (Dahar 1996; Hasan 1996; surya 2003) setiap individu mengalami tingkatan-tingkatan perkembangan intelektual sebagai berikut :
a.       Tingkat sensorimotor (0-2 tahun)
b.      Tahap preoporational (2-7 tahun)
c.       Tahap concrete (7-11 tahun)
d.      Tahap formal operations (11 tahun keatas)
Menurut teori ini pengetahuan tidak hana dipindahkan secara lisan tetapi dikonstruksikan pada semua siswa, maka disini kegiatan elajar siswa haruslah aktif.
5.      Teori pembelajaran Ausubel
Menurut teori pembelajaran Ausubel subjek yang dipelajari siswa mestilah bermakna. adalah suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Menurut Ausubel, pemecahan masalah yang sesuai lebih bermanfaat bagi siswa dan merupakan strategi yang efisien dalam pembelajaran.
Ausubel mengatakan bahwa ada dua jenis belajar, yaitu belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar akan bermakna bila siswa mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dengan model cooperative learning, materi yang dipelajari tidak hanya sekedar menjadi sesuatu yang dihafal dan diingat saja, melainkan ada sesuatu yang dapat dipraktikan dan dilatihkan dalam situasi nyata dan terlibat dalam pemecahan masalah.
6.      Beberapa catatan tentang model kooperatif
Pelaksanaan cooperative learning member beberapa dampak bagi Guru yaitu :
a.       Guru disarankan untuk mengubah pradigma tentang konsep yang memandang pembelajaran sebagai proses pengalihan pengetahuan kepada konsep yang memandang sejarah sebagai proses konstruktif.
b.      Kepada semua guru perlu adanya pemahaman yang mendalam tentang model pembelajaran cooperative learning agar guru dapat melaksanakan peranannya sebagai fasilitator, mediator, director motivator dan evaluator.
c.       Guru harus memperhatikan secara heterogen berdasarkan kemampuan akademik siswa. Untuk mengatasi keterbatasan waktu pembentukan kelompok dilakukan sebelum pembelajaran sejarah dimulai.
d.      Model pembelajaran ini efektif untuk meningkatkan kinerja guru yang apabila diimplementasikan membawa sejumlah konsekuensi, di antaranya kemauan dan kemampuan guru untuk mengembangkan rencana pembelajaran secara matang.
            Bagi Kepala Sekolah, kepala sekolah dapat mendorong guru untuk memperbaiki kualitas pembelajaran yang telah dilakukan melaluui model kooperatif ini.
           Bagi Pengambil Kebijakan, dalam hal ini adalah pejabat yang terkait dan turut bertanggungjawab terhadap peningkatan kualitas pembelajaran. Depdiknas dapat member dorongan dan kemudahan bagi guru untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif ini.
7.      Teknik student teams achievement divison (STAD)
Guru yang menggunakan Teknik student teams achievement divison (STAD) juga mengacu pada pembelajaran kelompok siswa, menyajikan informasi akademik baru pada siswa dalam suatu kelas tertentu dipecah dalam kelompok yang aggotanya 4-5 orang, setiap kelompok harus hiterogen terdiri dari laki-laki dan perempuan, berasal dari berbagai suku, memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Anggota tim menggunakan lembar kegiatan atau perangkat pembelajaran yang lain untuk memutuskan materi pelajaranya dan kemudian saling membantu sama lain untuk memahami bahan pelajaran melalui tutorial, kuis satu sama yang lainnya dan atau berdiskusi, dan kuis yang dilakukan akan di sekor. Dalam metode ini, kata dia, siswa ditempatkan dalam tim belajar yang beranggotakan empat atau lima orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin dan suku bangsa. Guru menyajikan pelajaran siswa berkerja dalam tim mereka untuk memastikan seluruh anggota tim telah menguasai mata pelajaran tersebut, seluruh siswa dikenakan kuis tentang materi itu.
Penerapan metode ini menggunakan beberapa pendekatan pembelajaran, seperti pendekatan kooperatif, kontekstual, dan konstruktif. Penerapan metode STAD terdiri atas siklus pembelajaran yang membawa siswa pada suasana kerjasama yang diharapkan, yaitu sebuah kondisi belajar siswa. Siklus pembelajaran tersebut yaitu :
a.       Mengajar, menyajikan pembelajaran,
b.      Belajar dalam tim,
c.       Tes dan,
d.      Penghargaan tim.
Untuk memudahkan penerapannya, guru perlu membaca tugas-tugas yang harus dikerjakan tim, antara lain :
a.       Meminta anggota tim bekerjasama mengatur meja dan kursi, serta memberikan siswa kesempatan sekitar 10 menit untuk memilih nama tim mereka atau ditentukan menurut kesesuaian,
b.      Membangkitkan lembar kerja siswa,
c.       Menganjurkan kepada siswa pada tiap-tiap tim bekerja berpasangan,
d.      Memberikan penekanan kepada siswa bahwa LKS itu untuk belajar,
e.       Memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menjelaskan jawaban mereka,
f.       Apabila siswa memiliki pertanyaan, mintalah mereka mengajukan pertanyaan itu,
g.      Pada saat siswa bekerja dalam tim, guru berkeliling dalam kelas,
h.      Memberikan penekanan kepada siswa bahwa mereka tidak boleh  mengakhiri
Terdapat 5 langkah pelaksanaan pendekatan ini, yaitu :
a.       Persiapan
b.      Penyajian materi
c.       Tahap kerja kelompok
d.      Tahap tes individu
e.       Tahap penghargaan




BAB 12
MODEL PEMECAHAN MASALAH DALAM KONTEKS PEMBELAJARAN
1.      Pandangan Konstruktivis dalam Pembelajaran
Menururt Paham kontruktivis pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi atau personal. Pengetahuan juga merupakan konstruksi manusia dan bukanlah suatu tiruan dari realitas.  Kontruktivisme juga memandang bahwa pengetahuan adalah non-objective, bersifat sementara, selalu berubah, dan tidak menentu. Menurut paham konstruktivistik, pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi atau personal. Lebih lanjut konstruktivisme juga memandang pengetahuan adalah non-objective. Selain itu Fosnot (dalam Lasmawan, 1997) mengemukakan empat prinsip dasar konstruktivisme 4 prinsip dasar kontruktivisme tentang pengetahuan yaitu sebagai berikut ;
a.       Pengetahuan terdiri dari konstuksi-kontruksi masa silam. Manusia membangun atau mengkontruksikan tentang dunia melalui kerangka logis.
b.      Pengkontruksian pengetahuan terjadi melalui asimilasi diakomudasi.
c.       Belajar merupakan suatu proses organik dan penemuan yang lebih dari hanya sekedar proses mekanik akumulasi.
d.      Belajar bermakna  terjadi melalui proses reflikasi dan resolusi konflik.

Menurut paham Konstruktivis belajar diartikan sebagai proses aktif pembelajaran mengkontruksikan makana melalui proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan pelajaran yang dipelajari dengan pengertiang yang sudah dimiliki.
Belajar juga dapat diartikan sebagai penyususnan pengetahuan dan pengalaman konkret aktivitas kolaboratif, refleksi dan interpertasi.  Proses aktif siswa dalam mengkontruksikan pengetahuan dicirikan sebagai berikut.
a.       Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa apa yang dirasakan, dialami dan dilihat.
b.      Kontruksi makana adalah proses berjalan terus-menerus.
c.       Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan suatu pengembangan pikiran dengan membuat pengertian yang baru.
d.      Proses belajar sebenarnya terjadi pada waktu sekma/pengetahuan awal seseorang dalam keraguan.
e.       Hasil belajar dipengarui oleh pengalaman belajar tentang dunia fisik dan lingkungannya.
f.       Hasil belajar seseorang sesuai apa yang telah diketahui si pembelajar.

Kegiatan belajar menurut paham Konstruktivis adalah aktifitas pebelajar membangun sendiri pengetahuan. pebelajar sendiri mencari makna terhadap materi pembelajaran yang mereka pelajari.
Mengajar adalah membuat informasi menjadi bermakana dan sangat relevan bagi siswa untuk menemukan  atau menerapkan ide-idenya sediri dalam belajar, sedangkan peran guru dikelas hanya sebagai mediator dan fasilitator agar proses belajar siswa berjalan baik. Fungsi dari mediator dan fasilitator yaitu :
a.       Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggujawab.
b.      Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang pengetahuan siswa.
c.       Meminitor, mngevaluasi, dan menunjukan apakah pikiran siswa berjalan bengan baik.
Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru kesiswa melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuanya. Mengajar bukan proses dimana gagasan pengajar diteruskan kpada siswamelainkan sebagai proses membantu siswa merubaha pengetahuan awalnya  yng miskonsepsi menuju ilmiah. Oleh karena itu guru perlu mengeksplorasi pengetahuan awal siswa dan membangkitkan dengan aktifitas siswa dalam membangun pengetahuanya.
2.      Konsepsi Model Problem-Based Learning
Pembelajaran sosial dengan menerapkan Model Problem-Based Learning selalu diwawali dengan penyajian masalah. Proses pembelajaran dimulai setelah siswa dikonfortasikan dengan struktur masalah real, sehingga siswa mengetahui mengapa mereka harus mempelajarai materi ajar tersebut. Informasi-informasi yang mereka temukan dan mereka analisis dari unit-unit materi ajar yang mereka pelajari dengan tujuan agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan ini para siswa akan belajar bagaimana menggunakan proses interaktif dalam mengevaluaasi apa yang mereka ketahui. Terdapat empat penerapan ensensial dari Model Problem-Based Learning antara lain:
a.       Pemusatan masalah disekitar pembelajaran dari konsep-konsep sosial yang penting.
b.      Memberikan kesempatan bagi pebelajar untuk menguji ide mereka fenag berbagai teori dan eksperimen.
c.       Memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengelola data sebagian dari melatih kognitifnya.
d.      Memberikan kesempatan bagi siswa untuk memecahkan masalah yang mereka hasilakan.
Adapun ciri-ciri penting dari pembelajaran Model Problem-Based Learning antara lain (Lasmawan : 2004)
1.    Tujuan pembelajaran. Tujuann pembelajaran yang dirancang dapat    merangsang dan melibatkan pembelajaran dengan pola pemecahan masalah.
2.    Keberlanjutan masalah. Ada dua hal yang harus diketahu dalam keberlanjutan masalah yaitu pertama masalah dapat memunculkan konsep-konsep. Kedua permasalahan hendaknya bersifat real.
3.    Adanya presentasi permasalahan.
4.    Guru berperan sebagai tutor dan fasilitator.
Pengembangan Model Problem-Based Learning memiliki karateristik antara lain:
a.     Pengajuan pertanyaan atau masalah.
b.    Berpokus kterkaitan dengan antardesiplin.
c.    Penyelidikan autentik, pembelajaran berdasarkan masalah mengaruskan siswa melakukan penyelidikan autentik.
d.   Mengasilkan produk dan mempersentasikannya.
e.    Kolaborasi pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan dengan adanya kerjasama anta siswasatu siswa dengan siswa yang lainya.
Secara konseptual terdapat beberapa penada atau karakteristik Model Problem-Based Learning dalam konteks intruksional yaitu:
a.    Proses pembelajaran berifat Student Centered,. Melalui bimbingan tutor (Guru) siswa harus bertanggungjawab atas pembelajaran dirinya.
b.    Proses pembelajaran berlangsung dalam kelompok kecil, setiap kelompok biasanya terdiri dari 5-8 orang.
c.    Guru berperan sebagai faasilitator atau pembimbing, Guru tidak berperan pemberi ceramah atau pemberi informasi faktual.
d.   Permasalahan-permasalahan yang disajikan dalam pembelajaran diorganisasi dalam bentuk dan fokus tertentu dan merupakan sitimulus pembelajaran.
e.    Informasi baru diproleh melalui belajar secara mandiri, siswa diharapkan belajar dari dunia pengetahuan dan mengakumulasiakn kehaliannya.
f.     Masalah merupakan wahana untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah klinik.
Langkah-langkah yang perlu diperhatikan dalam merancang pembelajaran berbasisi Problem-Based Learning sehingga proses pembelajaran benar-benar menjadi terpusat pada siswa yaitu:
1.    Fokusan masalah sekitar pembelajarab konsep-konsep sosial yang ensensial dan strategis.
2.    Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengevaluasi gagasan melalui eksperimen atau studi lapangan.
3.    Berikan kesempatan kepada siswa untuk mengelola data yang mereka meiliki yang merupakan proses latihan metakgonis.
4.    Berikan kesemapatan kepada siswa untuk mempersentasikan solusi-solusi yang mereka kemukakan termasuk dukungan data.
Ada lima tahapan dalam menerapkan Problem-Based Learning antara lain :
1.    Orentasi siswa pada masalah, pada saat Guru memulai pembelajaran, Guru menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas untuk menumbuhkan sikaf positip pada pembelajaran.
2.    Mengorganisasikan siswa untuk belajar,  Problem-Based Learning membutuhkan kemampuan klaborasi diantara siswa yang nantinya digunakan untuk menyelidiki masalah secara bersama.
3.    Membantu penyelidikan siswa, pada tahapan ini Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan data-data atau eksperimen sampai mereka betul-betul memahami masalah tersebut.
4.    Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, pada tahapan ini Guru membantu siswa dalam nerancang dan menyimpan hasil karya yang telah disajikan.
5.    Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.
Model pembelajaran Problem-Based Learning memiliki beberapa keunggulan dari pada model pembelajaran lain antara lain:
1.      Problem-Based Learning nerupakan teknik yang cukup bagus untuk memahami isi pelajaran.
2.      Problem-Based Learning dapat membantu siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3.      Problem-Based Learning dapat meningkatkan aktifitas pembelajaran siswa.
4.      Problem-Based Learning dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5.      Problem-Based Learning dapat membantu siswa mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab terhadap pembelajaranya yang mereka lakukan.
6.      Problem-Based Learning dip[andang lebih mengasikan dan disukai siswa.
7.      Problem-Based Learning dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan baru.
8.      Problem-Based Learning dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang emreka telah miliki dalam dunia nyata.
Efek dari Problem-Based Learning dalam proses pembelajaran disekolah antara lain:
1.    Akan terjadi pergeseran proses pembelajaran dari teacher centered menuju student centered.
2.    Akan terjadi perubahan sikap dan peranan guru dari penceramah sebagai sumber otoritas ilmu pengetahuan menuju perannya yang baru yaitu sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.
3.    Akan terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa karen strategi pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa aktif mencari dan mengorganisasikan informasi.
4.    Para siswa akan memproleh kesempatan untuk belajar secara mandiri.

3.      Konsep pemecahan masalah dalam pembelajaran
Kemampuan memecahkan msalah sangat diperlukan dalam pembelajaran IPS. Dengan pengajaraan pemecahan masalah dapat membantu siswa mempelajari masalah di sekolah. Persoalan tersebut diajukan oleh siswa setelah diberikan pengetahuan terkait tentang teknik pemecahan masalah. Ada lima strategi pemecahan masalah dapat ditempuh ddalam rangka pemecahan permasalahan yang dihadapi antara lain:
1.      Visualisasi masalah, pada tahapan ini masalah diterjemahkan kedalam suatu representasi vinsual dan verbal, dengan m engambarkan seketsa masalah yang dihadapi.
2.      Mendeskripsikan masalah-masalah atau konsep, dalam tahapan ini memintak siswa mengungkapkan kemampuan kulitatif konsep-konsep dan prinsip-prinsip IPS untuk menganalisis dan menyajikan masalah kedalam istilah IPS.
3.      Merancang solusi, tahapan ini melibatkan siswa menterjemahkan deskripsi IPS kedalam representasi yang tepat.
4.      Menyelesaikan rencana, pada tahapan ini siswa menggunakan aturan-aturan matematika untuk dapat mengungkapkan variabelyang tidak diketahuinya.
5.      Mengecek dan mengkaji solusi, dalma tahapan ini merupakan tahapan terakhir dalam memecahkan masalah.
4.      Gaya kognitif dalam pembelajaran
Menurut Park (1996) gaya kognitif adalah karakteristik individu dalam merasakan, mengingat, berpikir dan memecahkan masalah. Mc Celland (dalam Lamba, 2006) mendefinisikan gaya kognitif adalah suatu dorongan pada seseorang untuk berhasil dalam berkompetisi dengan suatu keunggulan tertentu. Gaya kognitif mengambarkan perbedaan cara orang memahami lingkungannya. Dengan gaya konitif dapat mendorong pada seseorang untuk berasil dalam berkompetensi dengan suatu standar keunggulan tertentu.gaya kognitif bersifat bipolar yaitu memeiliki dua kutub namun tidak menunjukan adanya keunggulan salah satu kutub terhadap kutub yang lainya.masing-masing kutub cendrung memiliki nilai positif pada situasi tertentu, atau sebaliknya cendrung memiliki nilai negatif pada situasi yang lain.
a.       Gaya konitif Fleld Independent
Gaya konitif Fleld Independent memiliki kemampuan analisis untuk memisahkan objek dari lingkungan sekitar sehingga prsepsinya tidak terpengaruh dilingkungan yang mengalami perubahan. Memiliki kemampuan mengorganisasikan objek-objek yang terorganisir.
b.      Gaya kognitif Fleld dependent
Gaya kognitif Fleld dependent cendrung berpikir global memandang objek sebagai suatu kesatuan dengan lingkungannya sehingga persepsinya mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan. kemampuan berpikir kritis
Antara kemampuan kritis dengan kemampuan kreatif  memiliki pola yang bertolak belakang satu dengan yang lainnya. Karakteristik dari orang yang berpikir kritis adalah sebagai berikut:
1.      Mencari pernyataan yang jelas dari setiap pernyataan.
2.      Mencari alasan
3.      Berusaha mengetahui informasi dengan baik.
4.      Memakai sumber yang memiliki kredibilitas dan menyebutkanya.
5.      Memperhatikan situasi dan kondisi secara seluruh.
6.      Berusaha tetap relevan dengan ide utama
7.      Meningkatkan kepentingan asali dan mendasar.
8.      Mencari alternatif.
9.      Bersikap dan berpikir terbuka
10.  Mencari penjelasan sebanyak mungkin apabila memungkinkan.






























BAB 13
MEMPERKUAT NILAI PENDIDIKAN IPS
INTERGRATED KONWLEDGE SYSTEM

Pendidikan ilmu pengetahuan sosial (PIPS) sebagai salah satu bidang kajian yang otonom, hingga saat ini masih mengundang sejumlah diskusi yang cukup menarik di kalangan ilmuan sosial khususnya. Sentral diskusi tidak saja bergerak secara horizontal, namun juga vertikal. Hal ini membuktikan bahwa masalah otonomi PIPS masih perlu membuktikan bahwa masalah otonomi PIPS masih perlu dipertegas lagi sehingga tidak menimbulkan keragaman opini dan konsepsi khususnya di kalangan ilmuan sosial.
Sebagai suatu disiplin ilmu IPS membentuk peserta didik sebagai warga negara yang baik dan berkualitas kondisi ini sangat penting tidak ada satu pun bangsa dudunia bisa melepaskan diri dari nafas kemajuan global, berkaitan dengan hal tersebut IPS salah atu cabang ilmu sosial yang membentuk peserta didik yang siap untuk menghadapi suatu perubahan akibat kemajuan IPTEKS (ilmu pengetahuan. Teknologi dan komunikasi serta seni.) dengan hal tersebut pendidikan IPS perlu ditanamkan sejak didi kepada peserta didik.
 Kemajuan IPTEK telah menghadirkan warna baru menyangkut peran dan esensi PIPS sebagai media pembentukan dan pengembangan peserta didik sebagai warga Negara yang baik dan sosiotable. Dimana pada konsep dan aplikasi preposisi knowledge as a power telah melahirkan budaya materiil di kalangan mayarakat dunia, sehingga mempengaruhi warna pembelajaran PIPS dalam dunia persekolahan dan di masyarakat. Di samping itu, konsep dan preposisi education as a power telah melahirkan budaya materiil di kalangan masyarakat dunia, sebagai upaya kalangan pakar pendidikan dan politisi di Negara-negara sedang berkembang untuk mengimbangi konsepsi dan perkembangan budaya material sebagai implikasi preposisi knowledge as a power.
Yang tidak kalah pentingnya adalah adanya proyek di tahun 2016+ yang bertujuan menjalin kolaborasi-produktuf antara berbagai disiplin ilmu baik IPA maupun IPS dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sebagai implikasi dari kemajuan IPTEK.
Project 2061 pertama kali di sprosori oleh National council of the social studies. Adalah dinamisasi masyarakat yang begiru cepat didukung oleh kemajuan IPTEK yang telah menghadirkan masalah sosial yang begitu kompleks didalam kehidupan masyarakat sebagai penghuninya. Tujuan dari project 2061 pada dasarnya adalah menjalin klaborasi-produktif antara berbagai disiplin ilmu baik IPA maupun IPS dengantujuan tersebut dapat memadukan atara IPA dengan IPS sebagai suatu disiplin ilmu yang saling mengisi dalam kehidupan sosialnya.





























BAB 14
INOVASI PEMBELAJARAN IPS
1.      Inovasi dalam Konteks Keharusan
Kemajuan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS) telah menghadirkan sejumlahwarna baru dalam pengembanga dan praktek pendidikan. Pendidikan sebagai bagian integral, dari kebudayaan harus sejalan dengan dinamika “kebutuhan” masyarakat, secara logika pendidikan dalam segala pirantinya harus mampu beradaptasi dan mengakomodasi berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendidikan juga mampu menginovasi dirinya sendiri disamping menyesuaikan.
            Kemajuan IPTEKS menghadirkan seperangkat masalah dan peluang bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di duni global saat ini. Peluang yang dimaksud lebih merupakan optimalisasi kompetensi untuk bisa survive dan memainkan peran di tengah-tengah dinamika zaman yang tidak pasti. Masalah dalam konteks ini lebih dimaknai sebagai sebuah kekhawatiran rasional dari setiap insan akan terpinggirkan dari hingar ingar masyarakat global.dunia maya yang “teraktualisasikan” (Vico, 1882) juga dihadapkan pada tantangan untuk tetap eksis dalam memainkan perannya sebagai sentral tranformasi nilai-nilai budaya.
            Saat ini di Indonesia, tampak bahwa dunia pendidikan tengah dihadapkan pada bivalensi pencarian mutu dalam bingkai pergaulan politik yang tiada pernah time out, oleh sebagian kalangan hal ini dianggap wajar, karena pendidikan itu dalam aplikasinya senantiasa bersentuhan dengan politik, namun oleh kalangan tertentu campur tangan politik dalam pendidikan jelas merupakan pengkebirian terhadap pendididikan itu sendiri.
            Sejalan dengan semakin rendahnya riuh angin reformasi yang ditabuh oleh kalangan mahasiswa di tahun 1998, tampak pemerintah telah mulai mencanangkan berbagai perbaikan dalam konteks pendididikan. Perubahan itu tentu memerlukan upaya lain yang berkelanjutan agar program pemerintah itu dapat berjalan dengan benar dan nyata dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Hal ini tentu memerlukan pemikiran dan jiwa yang kreatif dan inovatif dai berbagai kalangan khususnya orang yang bernaung di bawah kebesaran panji-panji pendidikan, dimana lembaga pendidkan sebagai  wahana pendidikan dan pelatihan masyarakat potensial menjadi warga negara yang berkualitas harus mampu  memainkan perannya sebagai agen pembaharu dalam pembangunan sektor pendidikan nasional (Djalal, 2002). Pembaharuan yang dimaksud adalah bagaimana lembaga pendidikan mampu menjadi pioneer bagi lahirnya pemikiran-pemikiran yang inovatif yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara ini kedepannya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
            Inovasi harus dilakukan debngan benar-benar mampu menyentuh permasalahan yang berkaita langsung maupun tidak langsung dalam proses inovasi itu sendiri. Tindakan inovatif bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan aja.  Pendididikan Indonesia saat ini, memanag memerlukan jiwa dan pemikiran serta tindakan-tindakan yang inovatif dari berbagai insan, khususnya insan pendidikan.
            Inovasi pendidikan akan sangat baik jika dilakukan oleh ujung tombak keberhasilan pendidikan itu sendiri, yaitu guru. Inovasi oleh seorang guru sekecil dan sesederhana apapun tetap akan berimplikasi secara signifikan terhadap hasil dari profesi yang dilakoninya, guru memiliki peran yang sangat mendasar dalam menunjang berbagai inovasi  yang dilakukan pemerintah, kolega dan pihak-pihak lain. Inovasi dalam knteks pembelajaran merupakan sebuah kewajiban bagi guru, hal tersebut akan berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas dan perolehan belajar siswa, baik secara personal maupun klasikal.
2.      Inovasi Pembelajaran adalah Sebuah Kewajiban
            Pembelajaran yang baik dalah pembelajaran yang mampu menjadikan peserta pembelajaran sebagai insan yang berkompeten pada bidang yang dibelajarkan sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Karena pembelajaran yang bermakna adalah yang bilamana pembelajaran tersebut mampu menjadikan peserta pembelajaran merasa nyaman, senang, dan termotivasi serta tertantang untuk belajar. Pada konteks ini guru harus mampu melakukan variasi pembelajaran sesuai dengan karakteristik materi, kebutuhan belajar peserta didik, lingkungan beljara, dan target pencapaian dari pembelajaran itu sendiri. Oleh karena itu salah satu kompetensi professional yang sebaiknya dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi inovatif.
            Inovasi dalam konteks pembelajaranbisa dimaknai sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh seorang guru untuk memperbaiki dan menghadirkan suasana baru sehingga apa yang disebut monoton dan itu-itu saja tidak menjadi warna abadi pembelajaran yang dilakukan. Pada saat dimana seorang guru itu telah merasakan ada yang salah dalam pembelajaran yang dilakukan pada saat itu logikanya guru harus mulai berpikir bagaimana memperbaiki kesalahan tersebut, apakah dengan mengubah tampilan dirinya, setting kelas penerapan model belajar baru, fasilitas baru, layanan pembelajaran baru, atau hal-hal yang dipandang perlu yang dikategorikan sebagai sebuah pemikiran inovaitif.
           



Tipikal Guru
Guru Tidak Inovatif
Guru Inovatif
·         Selalu merasa puas terhadap apa yang dilakukan
·         Selalu merasa tidak puas terhadap apa yang telah dilakukan
·         Kurang tanggap terhadap kebutuhan belajar siswa
·         Memiliki ketergantungan tinggi terhadap kebutuhan belajar siswa
·         Memposisikan dirinya sebagai otoritas pembelajaran
·         Memposisikan dirinya sebagai “partner of learning” bagi siswanya
·         Unliterate terhadap IPTEKS
·         Memiliki literasi IPTEKS yang tinggi

Bilamana sebagian guru di Indonesia selalu berfikir dan berbuat yang inovatif maka keterpurukan mutu pendidikan tak akan pernah terdengar. Ada beberapa strategi yang dapat di kembangkan untuk memotivasi guru agar mau melakukan inovasi. Memberikan fasilitas yang memadai, meningkatkan iklim yang bersifat demokratis, memberikan layanan administrasi yang bersifat manusiawi,, memberikan reward, dsb.
Apabila dikaitkan antara kepentingan inovasi guru dan peluang yang ada saat ini maka secara logika guru memiliki kesempatan yang sangat luas untuk berinovasi dalam pembelajarannya.
3.      Inovasi dalam Pembelajaran
Disiplin ilmu sosial sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sejajar dengan disiplin ilmu lainnya dalam konstalasi keilmuan yang secara universal, mengalami inovasi yang sangat mendasar berkaitan dengan pendekatan dan pengorganisasian materinya. Sejalan dengan semakin kompleksnya fenomena sosial yang terjadi di masyarakat sebagai implikasi dari kemajuan IPTEKS, maka kalangan sosial memandang tidak ada korelasi yang signifikan bilamana disiplin ilmu sosial tetap berdiri sendiri bagi pengembangan ilmu sosial itu sendiri.
National Council of The Social Studies (NCSS) sebagai komisi pengkajian dan pengembangan social studies, di Amerika. Saat ini tengah mengembangkan sebuah proyek untuk menjustifikasikan dan mensosialisasikan warna baru dari ilmu-ilmu sosial kepada karangan teoritisi dan praktisi pendidikan ilmu sosial di seluruh dunia melalui Project 2061+ yang didalamnya memuat sebuah paradigma baru dan pesan moral akademis yang sedemikian luhur. Salah satunya adalah upaya menggeser adagium knowledge as a power dan education as a power dan mencoba mengintegrasikan pendekatan dan metode disiplin ilmu-ilmu eksata dengan pendekatan demngan metode disiplin ilmu sosial, khususnya dalam membedah beberapa fenomena alam yang semakin kompleks. Hal ini sejalan dengan apa yang direkomendasikan NCSS bahwa tidak ada satupun disiplin ilmu yang mampu menjadi Raja dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini.
Tujuan dari Project 2061+ pada dasarnya adalah menjalin kolaborasi produktif antara berbagai disiplin ilmu dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihaapi masyarakat, serta dimaksudkan secara otomatis untuk menguji kehandalan dan penemuan jati diri setiap disiplin keilmuan dalam aplikasinya dimasyarakat. Ada beberapa cara yang dapat digunakan dalam mengembangkan integrated knowledge system yaitu secara cross discipline, trans discipline dan antar disiplin (NCSS, 2002).
Dilihat dari metode dan dan tekhnik penghampiran masalahnya melalui proyek 2061+ ini akan menyebabkan terjadinya pengayaan dan integrasi beberapa metode dan tekhnik yang selama ini telah digunakan dan membelajarkan atau mengaplikasikan ilmu-ilmu social dalam konteks intruksional. Implikasi dari hal ini adalah kebermaknaan dari pembelajaran ilmu-ilmu social akan lebih baik, khususnya bagi peserta didik dalam kapasitasnya sebagai calon warga negara potensial. Keinovatifan seorang guru pendidikan ilmu social akan mempengaruhi eksistensi dan popularitas disiplin ilmu social tersebut. Unruk berinovasi tidak dibutuhkan “warming up” atau pemanasan namun sangat membutuhkan keberanian dan kemauan, karena setiap orang telah memiliki kompetensi yang inovatif.
Kalangan pakar pendidikan telah mengembangkan sejumlah model ilmu-ilmu social yang inovatif, dari yang berorintasi pada pengembangan ilmu kepentingan belajar peserta didik ataupun kepentingan politik akademik. Sebagaimana halnya Banks yang dikutip oleh Suwarma (1991) mengmukakan tiga pengembangan tradisi pembelajaran ilmu social, yaitu : (1) social studies as social sciences, (2) social studies as citizenship education dan (3) social studies as reflective inquiry. Sementara Joice dan Weil (1986) mengemukakan beberapa model mengajar walaupun dalam bahasannya lebih banyak menekankan pada kegiatan belajar peserta didik, yang di bagi menjadi empat kelompok yakni : (1) kelompok model pengolahan informasi, (2) kelompok model personal, (3) kelompok model social dan (4) kelompok model system prilaku. Sementara itu Hilda Taba, merancang model berfikir induktif yang dimaksudkan untuk membantu peserta didik untuk mengidentifikasi, menggali dan mengorganisir informasi melalui uji hipotesis yang didalamnya termasuk pelikisan kaitan-kaitan logis antara berbagai data. Ausubel (Kamarga, 2000) telah mengembangkan model pengemas awal (Advance Organizer) yang bertujuan untuk membantu peserta didik untuk memiliki pengalaman dengan struktur kognitif yang nantinya digunakan untuk memahami materi yang disajikan atau dibelajarkan. Hasan (2004) dan Lasmawan (2003) mengemukakan tiga aliran yang mempengaruhi tradisi dan model pembelajaran ilmu social, yaitu : (1) aliran para ilmuwan social, (2) aliran para pendidik (3) aliran gabungan antara ilmuan social dan ahli pendidikan. Setiap model tersebut memiliki karakteristik masing-masing sehingga penggunaanya disesuaikan dengan materi yang di akan belajarkan.
Dalam tradisi pembelajaran ilmu –ilmu social di Indonesia dikenal beberapa model pendekatan pengorganisasian materi, seperti : (1) pendekatan integrated, (2) pendekatan correlated, yang biasa digunakan di jenjang SLTP (3) pendekatan sparated yang biasa dikembangkan di di SMU dan perguruan tinggi. Dilihat dengan kaitannya dengan tradisi pembelajaran ilmu-ilmu social, tampak yang lebih popular dan banyak berpengaruh dalam pemgembangan kurikulum ilmu-ilmu social di Indonesia adalah model yang menekankan bahwa ilmu social merupakan disiplin yang disajikan secara terpisah namun tetap ada keterkaitan antara disiplin ilmu social yang satu denga n disiplin ilmu social yang lainnya.
Sebagai aktivitas personal yang dilakukan oleh guru, merancang pembelajaran merupakan proses untuk menetapkn model dan metode pembelajaran yang terbaik sehingga akan terjadi perubahan pengetahuan dan keterampilan peserta didik yang optimal (Killen, 1998). Menurut teori subasmption, belajar secara optimal dan produktif diperoleh dari pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik untuk kemudian di gabungkan dengan pengetahuan yang baru, pengetahuan terorganisasi secara hierarki apabila informasi baru akan bermakna jiak dihubungkan dengan apa yang telah diketahui. Dalam paradigma pembelajaran ilmu social tak ada satu model pun yang dapat memenuhi semua keinginan guru dan siswa dalam waktu yang bersamaan secara sama (NCSS, 2004). Pembelajaran ilmu social yang baik adalah pembelajaran yang mengintegrasikan dua atau lebih model pembelajaran dalam keseluruhan rangkaian pembelajaran dalam kurun waktu tertentu. Guru dituntut untuk memilii pemahaman dan keterampilan yang memadai mengenai model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi uang  akan dibelajarkan.dengan kata lain, guru harus kreatif dan inovatif.
Tabel model pembelajaran yang cocok untuk dikembangkan dalam pembelajaran ilmu-ilmu social dan bersifat inovatif.
Nama Model
Pembelajaran
Karakteristik
Materi (C-A-P)
Penekanan dari Model Secara Instruksional
  1. Model STM
CAP
Pengetahuan, sikap dan cara berfikir siswa
  1. Model Resolusi Konflik (CR)
AP
Sikap dan ketrampilan siswa dalam memecahkan masalah
  1. Model Ketrampilan Proses Sosial (SSP)
CAP
Kemampuan mengolah informasi dan berdemokrasi secara luas
  1. Model Jurisprodensi Sosial (SJ)
CA
Pengetahuan dan sikap siswa terhadap masalah hukum/UU
  1. Model Cooperatif Learning (CL)
CAP
Pengetahuan, sikap dan ketrampila siswa bermasyarakat
  1. Model Vygotsky
CAP
Pengetahuan, sikap dan ketrampilan berfikir siswa
  1. Model Advance Organizer (AO)
C
Cara siswa mengelola informasi yang bertalian dengan materi
  1. Model Inqury Social (IS)
AP
Sikap dan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah-masalah actual
  1. Model Values Clarification
A
Sikap siswa dalam memecahkan persoalan berdasarkan pertimbangan nilai
  1. Model Sosial Konteks (SC)
AP
Sikap dan keterampilan siswa menyikapi  masalah di lingkungannya
  1. Model Values Pushing Problems (VPP)
AP
Sikap dan keterampilan siswa dalam bersikap dan berbuat berdasarkan nilai
  1. Model Proyek Kelas (CP)
CAP
Pengetahuan dan ketrampilan siswa memahami materi secara tuntas
  1. Model Portofolio
CAP
Pengetahuan dan ketrampilan siswa bersikap secara actual dan factual
  1. Model KWL
CAP
Ketrampilan siswa memilah pengetahuan, bersikap dan bertindak
  1. Model Individual Performancy (MIP)
P
Keterampilan siswa dalam melakukan sesuatu (sesuai dengan materi)
  1. Model Breaking Activities (BA)
AP
Sikap dan keterampilan siswa mengolah infomasi secara berkelompok
  1. Model Problem Solving by problem
AP
Sikap dan keterampilan siswa memecahkan masalah actual-factual
  1. Model Social Budaya
AP
Sikap dan keterampilan siswa memecahkan masalah berdasarkan nilai sosial budaya lokal
  1. Model CTL
CAP
Cara siswa membangun pengetahuan dengan cara kekinian
  1. Model Oneshoot Performance
P
Keterampilan siswa betindak secara langsung dan factual
  1. Model Peta Konsep
C
Cara siswa memahami konsep secara lebih tuntas
  1. Model pembelajaran Induktif/deduktif
CAP
Teknik pemrosesan informasi oleh siswa
  1. Model pengembangan potensi
CAP
Cara siswa mengembangkan dan melatih potensi dalam konteks social kelas
  1. Model penelitian kelompok
AP
Kemampuan dan ketrampilan siswa melakukan penelitian sederhana dan sikap demokratis
  1. Model social laboratory
CAP
Kemampuan dan ketrampilan siswa memahami persoalan menurut hukm ilmiah
  1. Model pembelajaran tidak langsung
CAP
Pengetahuan, sikap, ketrampilan dan tanggung jawab personal social siswa
  1. Model Pelatihan ketertanggapan social
AP
Sikap dan tindakan siswa dalam menyikapi fenomena social di sekitarnya
  1. Model pembelajaran sintetik
CAP
Pengetahuan, sikap, ketrampilan siswa dalam bentuk utuh dan menyeluruh

Pengetahuan, ketrampilan dan kesanggupan guru merupakan kunci bagi keberhasilan pengembangan sebuah model dalam konteks intruksional. Pemilihan model belajar harus disesuaikan dengan karakteristik materi yang akan dibelajarkan dan lingkungan social siswa sekolah.










BAB 15
PEMBELAJARAN IPS DAN PEMBANGUNAN SDM PRIMA
1.      Rasional Pemikiran
            Sistem pendidikan nasional sebagai sebuah acuan dan wadah diselenggarakannya berbagai program pendidikan di Negara kita, pada dasarnya dimaksudkan untuk merealisasikan tujuan mulia yang telah termuat dalam konstitusi Negara, khususnya pada alinea 4 pembukaan UUD 1945. Jika hal tersebut dikaitkan dengan dinamika kehidupan masyarakat global saat ini, maka untuk mendidik dan membangun manusia Indonesia yang berteknologi tinggi dalam bungkusan keimanan dan ketaqwaan yang sesuai dengan moral keagamaan dan kemasyarakatan Indonesia, perlu adanya dasar-dasar pemikiran yang nanti layak dijadikan patokan dalam menganalisis dan merumuskan sistem pendidikan yang dapat mengakomodir hal tersebut. Misalnya saja seperti perkembangan ilmu dan teknologi yang cepat membawa dampak pada terjadinya revolusi informasi yang tidak lagi mengenal batasan geografis dan kebangsaan, dsb.
2.      Konsepsi dan Aplikasi Sistem Pendidikan Nasional
              Berdasarkan dasar pemikiran diatas, SPN yang dipandang memiliki kelayakan dan prospek untuk untuk menjadikankeluaran pendidikan yang menguasai ilmu dan teknologi tinggi dalam bungkusan ke imanan dan ketaqwaan yang tinggi adalah sistem pendidikan yang dikelola sebagai sebuah proses sosila yang direkayasa untuk mencaoai tujuan yang diharapka secara efektif dan efisien dengan mengikit sertakan kerjasama, serta berparisipasi sem ua lapisa masyarakat dalam kesejahteraan secara kolaboratif dalam iklim kerjasama demokratis dan transfaran dengan mendasarka seluruh kebijakan pada nilai-nilai budaya serta landasan idiologi dan konstitusional pancasila dan UUD1945. Jika konsepsi mengenai orientasi dan produk pendidikan diatas ditebalkan seerti di tunjukan pada tabel 8. Dibawah ini.
Tabel 8. Konsepsi orientasi dan produk epdidikan.
Jenis/Ciri
Pendidikan
Pelaihan
Modalitas pembangunan
Formal Akademik
Praktis
Orientasi Kelembagaan
Pengembangan Pribadi
Dunia Kerja
Dimensi Pembangunan Prilaku
Idiogrfik
Nomotetik 
              Dalam rangka menoptimalisasi konsep ini, kran partisipasi masyarakat harus dibuka lebar-lebar mulai dari penyusuna kurukulum hingga pelaksaan pembelajaran di masing-masing jenjang sekolah. Dengan demikian, pelaksanaan proses pendidikan tertkontrol secara terbuka dan objektif, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas proses dan keluaran lembaga pendidikan itusendiri. Pada konteks silogisme pada pendidikan IPS sebagai sebuah disiplin yang bersifat sintetis, juga tidak bisa melepaskan diri dari keterikatan akademis-politis sistem pedidikan nsional tersebut. Pendidikan IPS senatiasa memberikan ruang yang lebar bagi guru dan siswa untuk bersinergi memberdayakan potensinya sebagai warga negara.
3.      Pembelajaran IPS dalam Persepektif Global
              Studi kualitas tentang pendidikan IPS dewasa ini menunjukan beberapa kelemahan, baik dilihat dari proses maupun hasil belajar, antara lain dalam aspek metodoligis yang mana pendekatan ekspositoris sangat mendominasi seluruh proses belajar. Aktifitas guru lebih menonjol daripada kegiatan siswa, sehingga belajar siswa terbatas pada penghapalan. Kaji petik Soepardjo (1989) menemukan adanya kecendrugan dikalangan siswa dewasa ini beranggapan bahwa pendidikan ilmu pengetahuan social. (PIPS) merupakan bidang studi yang menjemuhkan dan kurang menantang minat belajar, bahkan lebih dari itu dipandang sebagai meta pelajaran kelas dua, bai dari peserta didik maupun ornag tua mereka. Hal ini diduga bersumber pada lemahnya proses belajar, sebagaimana ditemukan dalam kaji Suwarma (1991) bahwa pendidikan IPS belum mapu menbangkitka budaya belajar pada peserta didikbudaya belajar dalam konteks ini diartika bahwa belajar IPS bukan Menyangkut “what to learn”  melainkan “how to learn” dengan katalain belajar IPS seyogyanya dipandang dari aspek instrumentalnya, yaitu “learning to learn”. Analisis factor eksternal yang berpengaruh terhadap mutu proses dan hasil pendidikan IPS menemukan bahwa peserta didik , ornatua, bahkan para pengambil keputusan dalam bidang pendidikan cendrung beranggapan bahwa pendidikan IPS kurang memiliki nialai manfaat dibandingkan dengan bidang studi lainya , seperti IPA.  Martorella (1988) menyatakan bahwa lemahnya basis ilmu sosial dan humaniora pada tingkat pendidikan dasar dan menegah, antaralain disebabka karena ilmu-ilmu alam dan teknologi dipandang seolah-olah secara konkrit mampu menjawab tantangan untuk menjadikan suatu bagsa moderent ditengah-tengah realitas masyarakat yang terbelakang. Kondisi ini menunjukan bahwa pendidikan IPS perlu mendapatkan perhatian secara akademik, sebab kondisisi ini akan semakin terstruktur dalam kondisi sosoila kemasyarakatan . berabgkat dari seperangkat permasalahan diatas , tulisan ini akan mengetengahkan secara singkat analisis kondisi empiris dan konseptual pendidikan ilmu pengetahuan social dewasa ini, serta mencoba menemukan alternative konseptual terhadap permasalahan tersebut.

4.      Pemahaman Konseptual Pendidikan IPS  
            Analisis pemahaman konseptual tentang IPS diapandang perlu atas dasar asumsi bahwa profil pendidikan IPS dewasa ini banyak ditantukan oleh kondisi pemahaman konseotual ari pelaku pendidikan ini dilihat dari dimensi tersebut ,secara teoritis guru, perserta didik, dan perangkat pendidikan lainya sepakat bahwa pelajaran IPS mengemban tujuan untuk melanjautkan pendidikan ke jenjng yang lebih tinggi juaga untuk mempersiapkan mereka untuk menjadi warganegara yang bai, yang dapat  memahami dan memchkan masalah sosial yang dihadapi.analisis terhadap materi pendidikan IPS didasarkan pada anggapan bahwa pengorganisasian pendididkan IPS mementukan terhadap kondisi dan proses hasil belajar mengajar, pengembangan kemampuam baerfikir dan nilai, dan keberhasilan dari program secara umum. Paul Kennedy (1993) dalam bukunya Preparing for the twenty first century, telah mengidentifikasi tiga tantangan utama dalammabd 21 ini, yaitu (1) munculnya masyarakat yang kompetitif (2) masalah-mansalah lingkukngan hidup dan kependudukan (3) stebilitas politik sebagai peace of the world. Tantangan yang begitu komlpeks dan cepat peru disikapi secra komperhensif, dalam kapasitasnya sebagai menia teransformasi, revitalisasi, rekostuksi, dan ekspolitasi nilai-nilai budaya bangsa.
5.      Dampak Globalisasi Tehadap Kepribadian Bangsa
Berkaitan dengan globalisasi dapat didefinisikan tantangan dunia pendidikan yaitu:
1.      Penyiapan sumberdaya manusia yang prima .
2.      Abrasi nilai-nilai budaya bangsa , sehingga dibutuhkan manajemen pendidikan yang mampu memfasilitasi tumbuh kembanya nilai-nilai budaya bangsa.
3.      Kaburnya identitas bangsa.
4.      Kemajuan IPTEKS dan informansi yang mengaburkan kesadaran nasional dan mengancam integritas kebangsaan.
              Untuk mewujudkan semua itu di perlukan visi pembangunan pendidikan yang jelas, aga pembentukan dan pengembangan manusia yang perima dapat direalisasikan. Proses globalisasi sebagaimana dianalisi oleh Jhon Naisbitt (1994) dalam bukunya Global Paradox, telah meghadirka masalah baru berkaitan dengan kehidupan masyarakat global, yaitu semakin menguatnya arus globalisasi, berdampak pada semakin besar pula coriosity manusia untuk mencapai self-identification dengan berbasisi pada primordialisme, sebagai suatu bagsa, asal usul, agama, bahasa, dan yang lainya.
6.        Pendidikan, Globalisasi, dan Manusia Prima
              Peranan  lembaga pendidikan dalam kaitanya dengan pembangunan sumberdaya manusia dapat dilihat dan dirumuskan dalam konsepsi “intlelectual formation”, yang merupkan kapasitas dari suatu bagsa untuk beradaptasi dalam kehidupan moderen yang dituntut dalam suatu masyarakat yang terbuka. Bukti empiris menunjukan bahwa standar pendidikan kita berada diurutan 105 dari 136 negara yang dijadikan sebagai sampel oleh UNACO dalam studinya tentang kualitas pendidikan masyarakat dunia (2000). Hal ini memprihatinkan bagi semua kalagan, khsusunya kita yang bernaung dibawak panji-panji pendidikan. Hal yang mendesk uyang perlu kita telusuri dalah apa yang salah dengan dunia pendidikan kita . menurut hemat penulis, kelemaham yang mendasar pada pembangunan pendudukan, khususnya dilhat secara institusional adalah belum difungsikanya semua unsur pendidikan secara optimal, sehinga tidak ada kesamaan bahasan dan tindakan dalam sistem yang diterapkan. Era globalisas yang terbuka dan kompetitif saat ini meminta kualitas sumberdaya manusia yang perima. Hal ini mingkin diwujudka jika didukung oleh lembaga dan pengelolaan pendidikan yang berkulitas. Disamping itu untuk mewujudkan pendidikan nasional yang berkulaitas dan mampu melahirkan Good Citizen maka perlu diwujudkan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan, yaitu penberdayaan masyarakat luas dan dunia usaha.
7.      Peratik Pendidikan Nasional dalam Era Global
              Untuk membenahi perkatek pendidikan di indonesia dalam rangka menghadapi globalisasi, palingtidak adasejumlah komponen strategis yang harus di pehatikan komponen-komponen tersebut adalah siswa, kurikulum, guru dan tenaga pendidik lainya, manajemen dan sarana dan prasarana penunjang pendidikan pendidikan pada dasrnya adalah wahana untuk belajar sisiwa. Dalam proses belajar, mengajar, sisiwa yang akan belajar, guru dan komponen lainya adalah fasilitator bagi peolehan pengalalman belajar sisiwa.
              Motivasi dan upaya  belajar juga merupakan faktor yang sangat menetukan dalam pendidikan . motivasi berarti memilki semangat dan tekad yang kuat untuk mencapai perestasi  yang tinggi. Motivasi dan kemauan muruid tersebut dikembangkan dengan “Hidden Curiculum” dalam interaksi dengan murid guru secara sadar dan terencana mengarahkan memotivasi dan kemanuan murid. Keberhasilan jepang dalam memotivasi sisiwa lewat Collegial intraction anatara guru dan murid dapat dipakai sebagai bahan perbandingan. Kuri kulum merupakan pengejawatan visi dan misis pendididkan nasional. Sebuah kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama, yaitu pendidikan; isi pendidikan; pengalaman belajar; dan penilaian. Dalam bidang IPS dikenal dengan Society science and tecnology (SST), keberhasilan kurikulum SST ini dalam endidikan sains di Amerika dapat dijadikan sebagai penbelajaran dalam penerapkan STS Indonesia. Jepang lebih ungul dalam pendidikann sains dan metematika dibandingka dengan ameriaka , bahkan secara konsisitan masih teratas secara internasional (Research today intenatonal studi january 1999).
              Shulman (1986) dalam ormrod dan cole (1996)  meny atakan bahwa guru yang efektif adalah guru yang mempunyai tiga jenis pengetahuan yaitu, pengetahuan tentang materi-subjek (Conttent Knowleadge) dan strategi khusus pengajaran materi-sunjek (Pedegogical Content Knowleardge).  Pedegogical Content Knowleardge merupakan kemampuanyang kritis dalam pengajaran efektif.  Untuk dapat membantu anak didik dalam menghadapi globalisasi, para guru harus senantiasa di beri penyegaran pengetahuan terutama mengenai perkembangan strategi penbelajaran terpadu. Seperti cooperative learnig konstrutivisme, STS melalui penataran-penataran. Oleh karena itu penataran semacam PKG, MGMP dan sejenis nya perlu di kembangkan dengan berbagai penyempurnaan.
                            Manajemen berbasis sekolah  meliputi cara sekolah : mengarahkan kurikulum untuk mengembangkan belajar siswa; merencanakan, mengimplementasikan akonstabilitas, menyeimbangkan kebutuhan sisitem dengan kebutuhan masyarakat sistebase mangement  dalam pengelolaan human resoursces, financial resources, dan physical resources; dan memaksimalkan efisiensi dan efektifitas kurikulum, belajar sisiwa dan pengunaan suberdaya ( The State of Queensland, department of education, 1999).











BAB II
PEMBAHASAN

Perbandingan dengan buku yang relevan
                   Buku IPS yang berjudul “Menelisik Pendidikan IPS Dalam Perspektif Kontekstual – Empiris. Karangan Prof. Dr. Lasmawan, jika  dibandingkan dengan buku yang sejenis atau relevan yang berjudul “Buku Ajar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Pendidikan Guru Sekolah Dasar, yang ditulis oleh Gede Raga, kedua buku ini sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Dalam kedua buku ini menunjukkan bagaimanan teori dan penerapan mengenai Pendidikan Ilmu Sosial di masyarakat dan bagaimana penerapannya di dalam lingkungan masyarakat. Dalam kedua buku terdapat beberapa pendekatan-pendekatan dalam pembelajaran IPS yang hampir sama persis serta pengaplikasian dalam tujuan belajar dalam kedua buku ini sama Kedua buku tersebut juga mempunyai tujuan sama yaitu tujuan belajar yang kooperatif, memberikan suatu model pemecahan masalah dalam IPS, tujuan IPS untuk pembangunan SDM prima, serta tujuan menciptakan suatu pembaharuan atau inovasi yang berkontribusi dalam pembelajaran IPS, akan tetapi kedua buku ini juga memiliki perbedaan .Pada buku karangan Prof. Dr. Wayan Lasmawan yang berjudul “Menelisik Pendidikan IPS Dalam Perspektif Konstektual-Empiris, terdapat beberapa cara-cara atau metode-metode baru yang dapat digunakan untuk lebih mudah dalam mempelajari Ilmu Pengetahuan Sosial. Buku karangan Prof. Dr. Wayan Lasmawan memiliki keunggulan dalam teori-teori pembelajaran yang ditawarkan, dan teori-teori yang diberikanpun sangat banyak dan masih baru, sehingga teori tersebut meliputi berbagai aspek dalam berbagai pemecahan masalah-masalah sosial yang sedang berkembang di masyarakat. 
            Sedangkan buku karangan Gede Raga yang berjudul Buku Ajar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Pendidikan Guru Sekolah Dasar, dalam buku ini membahas tentang kajian ilmu IPS secara teoritik saja. Pembahasan-pembahasan yang ada pada buku tersebut dipaparkan singkat tetapi tetap mengacu pada pendidikan ilmu social. Keunggulan yang dimiliki dari buku karangan Gede Raga ini yaitu bahasa yang digunakan umum serta lebih mudah dipahami sehingga tidak membuat pembaca menjadi bingung untuk memahaminya.
Akan tetapi kedua buku ini memiliki kelemahan yang cukup kentara, misalnya kelemahan yang dimiliki oleh buku karangan Prof. Dr. Wayan Lasmawan adalah, masih banyaknya penggunaan istilah-istilah keilmuwan yang ada dalam buku tersebut  sulit dimengerti dan masih banyak menggunakan bahasa ilmiah tanpa adanya penjelasan. Selain itu dalam penulisannya banyak terdapat bahasan yang diulang dibahas lag dan banyak ketikan yang salah.
Sedangkan pada buku karangan Gede Raga, memiliki kelemahan seperti pemaparan materi yang sangat singkat sehingga pemahaman pembaca menjadi terbatas, serta dalam membahas kajiannya hanya melalui teori saja tanpa contoh yang berkembang di masyarakat. Dan Kedua buku sama-sama memberikan gambaran tentang Ilmu Sosial yang memiliki tujuan sebagai pembentuk karakter bangsa. Dalam kedua buku tersebut dicantumkan beberapa konflik-konflik sebagai tantangan Ilmu sosial sebagai disiplin ilmu memiliki kajian lain didalamnya, misalnya kasus-kasus yang terjadi sebagai tantangan Ilmu Sosial. Akan tetapi terdapat pula banyak perbedaan-perbedaan yang menyangkut pembuatan buku maupun struktural lainnya. Pembuatan buku Prof. Dr. Lasmawan dilakukan sendiri dan terbentuk melalui pemikiran yang matang walaupun memerlukan bantuan dari pihak lain untuk penyempurnaan bukunya sedangkan buku yang disusun Prof. Dr. Taufik Abdullah merupakan hasil dari sebuah workshop sehingga terdiri dari pemikiran-pemikiran ahli yang terkait dengan tantangan Ilmu Sosial. Dalam penerapannya Prof. Dr. Lasmawan mengkaji secara luas sampai penerapan kurikulum, sehingga mahasiswa khususnya sebagai calon tenaga pendidik mampu memahami bagaimana keadaan dilapangan terkait dengan Penerapan Ilmu Sosial, sedangkan dalam buku yang berjudul “Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman”, lebih menekankan kepada tingkatan yang lebih tinggi yakni di tingkat S2 dan cukup sulit untuk dipahami. Di dalam buku Prof. Dr. Lasmawan terdapat berbagai contoh-contoh real yang terjadi dilapangan apabila mahasiswa dari LPTK ingin melihat kenyataan tersebut diharapkan mampu menyikapi dengan berbagai strategi yang nantinya bisa digunakan untuk mencapai tujuan belajar yang kondusif. Buku Prof. Dr. Taufik Abdullah melahirkan hal-hal yang bersifat umum dan kurang bisa dimengerti oleh mahasiswa terutama yang bergelut di LPTK, akan tetapi buku ini sangat penting untuk dipelajari oleh mahasiswa yang terintegrasi dalam Ilmu Sosial.
 Lewat perbedaan tersebut masing-masing buku memiliki kekurangan, kekurangan buku dari Prof. Dr. Lasmawan adalah kualitas kertas buku yang kurang, masih cenderung bersifat tergesa-gesa dalam pembuatannya walaupun dalam isi buku tersebut sangat mendalam memahami Pendidikan Ilmu Sosial dan perlu ditambahkan gambar-gambar ataupun ilustrasi struktur sehingga lebih mudah dipahami oleh mahasiswa pada umumnya. Buku karangan Prof. Dr. Taufik Abdullah karena dikaji oleh beberapa orang yang sangat ahli dibidangnya tentunya memiliki lebih banyak kelebihan-kelebihan baik dari kualitas maupun isi, akan tetapi perlu kiranya dilihat jenjang yang membaca buku sehingga tidak sulit untuk dipahami oleh mahasiswa ataupun masyarakat luas. Kalau dilihat dari segi ke lengkapan daripada pembahasan mengenai pendidikan IPS yang dikarang oleh kedua pakar diatas dapat diambil suatu perbedaan yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur untuk membandingkan kedua buku tersebut, bahwa kalau dilihat dari kelengkapan yang secara terstruktur dalam pembahasan materi pendidikan IPS buku karangan bapak Prof. Dr. Wayan Lasmawan lebih terstruktur dan lebih terperinci secara spesifik dalam pembahasannya dibandingkan dengan buku karangan bapak Prof, Muhamad Numan Somantri, M.Sc. yang sebagian besar membahas materi Pendidikan IPS secara garis besarnya saja dengan menitik beratkan pada inti-inti pembahasan dari meteri Pendidikan IPS itu sendiri. Seperti contoh dalam meteri yang dibuat oleh bapak Prof. Dr. Wayan Lasmawan tentang perkembangan Pendidikan IPS beliau menguraikan secara menspesifik mulai dari perkembangan IPS di Indonesia, Amerika Serikat, Inggris, akan tetapi dalam buku karangan bapak Prof. Muhamad Numan Somantri, M.Sc beliau menguraikan materi perkembangan IPS dalam ruang lingkup dinamika nasional dan global, sekilas memang hampir sama akan tetapi dapat dilihat dari segi kespesifikan dalam penguraiannya sebagai pembeda kedua buku tersebut. Disamping itu, dalam buku karangan bapak Prof. Dr. Wayan Lasmawan beliau lebih menekankan materi tentang sejarah, tujuan dan harapan dalam pendidikan Ips sebagai kegiatan keilmuan dan model pembelajaran, akan tetapi dalam buku karangan bapak Prof. Muhamad Numan Somantri, M.Sc. beliau lebih menekankan pada batang tubuh dan generalisasi dari pendidikan IPS. Jadi perbandingan antara kedua buku tersebut antara buku karangan bapak Prof. Dr. Wayan Lasmawan dengan bapak prof. Muhamad Numan Somantri dilihat dari segi kelengkapan dan kespesifikanny, buku karangan bapak Prof. Dr. Wayan Lasmawan lebih terperinci dan spesifik didalam pembahasannya.










DAFTAR PUSTAKA

Lasmawan, Wayan Prof. Dr. 2010. Menelisik Pendidikan IPS Dalam Perspektif Kontekstual – Empiris. Singaraja: Mediakom Indonesia Press Bali

Wayan Suwatra, Ign M.Pd. 2008. Buku Ajar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha
Abdullah Taufik 2006. Ilmu Sosial dan Tantangan Zaman. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Jakarta
Numan Somantri,Muhamad. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar